KETERAMPILAN SOSIAL
ANAK TUNANETRA
Keterampilan sosial pada orang
normal dipelajari melalui obsevasi visual dan kegiata meniru dalam kegiatan
sehari-hari. Pada anak tunanetra khususnya pada usia dini tidak banyak mendapat
kesempatan untuk mengamati dan meniru secara langsung. Disamping itu mereka
juga tdak mengetahui tingkah laku sosial yang dapat diterima atau tidak.
A.
Perkembangan
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial pada anak-anak jika tidak mencapai kompetensi sosial
minimum hingga usia 6 tahun, kemungkinan besar akan mengalami masalah pada saat
dewasa. Kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan baik dirumah atau
disekolah. Adaptasi anak dengan lingkungan harus memiliki perilaku verbal dan
nonverbal yang digunakan untuk merespon individu lain seperti teman, saudara,
orangtua, atau gurunya.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan yang digunakan untuk menggambaran
kualitas pribadi anak, meskipun dihadapkan kepada stres dan prilaku yang
negatif. Perkembangan kompetensi sosial dimulai pada saat kelahiran sampai usia
prasekolah. Proses interaksi sosial yang terus berkembang merupakan titik awal
perkembangan bahasa dan kognitif anak.
Peran orangtua dalam mengasuh anak yang otoriter akan menciptakan
lingkungan yang tertata dengan aturan yang jelas. Orang tua yang menerapkan
sedikit tuntutan kepada anak cenderung tidak konsisten dalam penerapan
disiplin. Orang tua engan gaya asuh tak perduli akan mengakibatkan anak untuk
menolak kehadiran orangtua.
B.
ADL
Kemapuan ini
diperlukan untuk membangun konsep diri dan perilaku sosial. Kegiatan
sehari-hari ini dilakukan untuk kepentingan menejemen diri dan merawat diri
1.
Etika makan
Bagi tunanetra tidak mudah untuk mengenali ada makanan
apasaja pada piringnya. Untuk mengetahui hal itu tunanetra haru diberitahu oleh
orang awas dengan teknik tertentu, yaitu dengan sistem jam. Dlam memberikan
latian kegiatan makan dapat meliputi cara duduk, posisi tubuh, cara mengambil
makanan, meletakkan posisi gelas, mengatur suara mulut, cara memesan makanan
direstoran, dll.
2.
Menyiapkan makanan
Belajar
mengenai makanan dan cara menyiapkannya dimulai di rumah sebagai bagian
kegiatan sehari-hari yang rutin. Pada anak balita yang awas mulai belajar hal
ini dari bermain dengan mainan tentang alat-alat dapur dan makanan atau melalui
observasi langsung sehingga kegiatan memasak atau menyiapkan makanan ini dengan
mudah dapat dikenal dan dilakukan anak.
3.
Mengurus rumah
Kegiatan rutin
menurus rumah sebaiknya di pelajari melalui pengajara yang di berikan oleh guru
atau orang tua. Anak tunanetra sebaiknya di ajarkan untuk mengurus mainannnya
seniri, buku, dan pakaian serta mekletakan barangnya sendiri pada tempat
tertentu yang terartur sehingga mereka mudah untuk menemukannya kembali jika
barang tersebut di perlukan. Hal ini perlu diajarkan karena anak tunanetra
tidak dapat memasuki ruangan dan mengenali dengan segera barang apa yang
terdapat di dalamnya sehingga tidak mudah menemukan barang yang diinginkan.
4.
Kesehatan dan
merawat diri
Ketrampilan
kesehatan diri, mengurus diri, dan berbusana (pakaian) sering kali tupang
tindih pengertiannya, dan ketiganya dapat digolongkan dalam ketramoilan merawat
diri. Yang termasuk kegiatan merawat diri yang perlu diajarkan pada anak
tunanetra antara lain: penggunaan dan perawatan kamar mandi anak perludiajarkan
cara menggunakan dan membersihkan toilet, menyikat gigi, memakai sabun dan
sampo, dan sebagainya.
5.
Management uang dan
belanja
Ketrampilan
dasar yang diperlukan anak untuk mengatur uang dan belanja adalah mengenal uang
bagi tunanetra diindonesia untuk mengenal janis uang perlu latihan secara
khusus karena mata uang rupiah yang berupa kertas memiliki ukuran dan ketebalan
yang mirip sehingga tidak mudah di kenali. Ketrampilan untuk menyimpan uang
kedalam dompet bagi tunanetra memerlukan teknik khusus agar mudah di kenali,
seperti misalnya uang ribuan disimpan pada dompen di saku pertama, puluhan ribu
pada saku kedua, ratusan di saku ketiga. Jika saku dompet terbatas juga dapat
di gunakan teknik lipatan yaitu dengan membedakan cara melipatnya.
6.
Menelepon
Ketrampilan
berkomunikasi semacam ini perlu diajarkan kepada anak-anak tunanetra sedini
mungkin dengan melibatkan mereka dalam bermain atau stimulasi penggunaan
telepon dan meberikan kesempatan percakapan dengan telepon dengan saudara,
orang tua, atau anggota keluarga yang lain. Ketrampilan lain yang penting juga
bagi tuna netra adalah bagaimana mencatat nomor telepon atau mencatat hal
penting sambil berbicara melalui telepon. Pada kebanyakn tunanetra melakukan
kegiatan tersebut dengan mengandalkan ingatan. Untuk membantu ingatan atau
menghindari kelupaan teknik-teknik tersebut perlu diajarkan dan dikembangkan.
C. KETRAMPILAN INTERPESONAL
1. Perilaku setereotipe
Pengulangan tingkah laku motorik seperti menggoyang
goyang tubuh, meenggeleng-gelengkan kepala dan menekan mata merupakan kegiatan
yang tidak dapat di terima secara sosial. Perilaku seperti ini pada umumnya di
sebabkan karena ketunanetraan atau kebutaan oleh karena itu di sebut blindsm.
Sehubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan ketunanetraan dan menimbulkan
perilaku bllinsm harus dipertimbangkan efeknya terhadap orang yang bersangkutan
dan orang lain. Perilaku blinsm ini sering kali mencemaskan orang tua maupun
orang lain dan sering kali orang menganggap bahwa perilaku blinsm sebagai
kelainan mental atau mengalami gangguan emosi. Dengan demiikian intervensi
untuk mengurangi atau meniadakan blindsm tersebut sangan diperlukan. Sebelum
melakukan intervensi beberapa faktor sebaiknya di pertimbangkan, misalnya
seberapa seriuskah blindsm tersebut, kapan dan mengapa blindsm tersebut
terjadi.
2. Komunikasi nonverbal
Komunikasi manusia sangat kkompleks, sebagaimana
diketahui komunikasi mencangkup berbicara, mendengar, membaca dan menulis.
Komunikasi nonverbal merupakan bagian komunikasi dinamik dan interaksi. Kita
berkomunikasi melalui penampilan, pakaian, ekspresi wajah, postur, dan posisi
tubuh, gerakan tubuh, gerakan mata, dan lain-lain. Komunikasi non verbal telah
digambarkan kedalam tuujuh aspek oleh Knapp (1978) yang meliputi:
a.
Gerakan tubuh
Gerakan tubuh
mencangkup gesture, gerakan tubuh kaki, tangan, gerakan mata, ekspresi wajah
dan postur. Tunanetra harus mempelajari bagaimana mengekspresikan maksudnya
secara non verbal dan menyadari bahwa orang lain dapat menyampaikan signal
nonverbal.
b.
Karakteristik fisik
Simbol yang
termasuk dalam karakteristik fisik ini adalah bentuk tubuh, bau badan, rambut,
dan warna kulit. Tuna netra tidak dapat menilai orang lain melalui
penampilannya karena hilangnya penglihatan meskipun demikian mereka harus
belajar untuk menyadari bahwa orang lain mungkin menilai penampilannya.
c.
Sentuhan
Yang di maksud
dengan sentuhan tingkah laku ini adalah kontak fisik. Tunanetra hrus diajarkan
melakukan kontak fisik seperti bagaimana bersalaman, meberi sesuatu dan lain
lain, agar mereka dapat berperilaku yag tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang berlaku dimasyarakat.
d.
Kualitas vokal
Kualitas vokal
berhubungan dengan bagaimana sesuatu dikatakan bukan apa yang dikatakan. Tinggi
rendahnya suara, tempo, keras dan lemahnya suara dapat memberikan signal tertentu.
Karena 0tuna netra tidak dpat melihat ekspresi wajah mungkin mereka mengalamoi
kesulitan untuk memahami arti dari kualitas vokal yang mungkin memiliki arti
ganda ataupu berbagai konotasi yang kadang-kadang apa yang dimaksud
bertentangan dengan apa yang dikatakan.
e.
Proxemics
Procemics
adalah penggunaan dan persepsi terhadap seseorang dan ruang sosialnya.
Demonstrasi dan pengalama terhadap
berbagai situasi termasuk perhatian terhadap ketepatan kerasnya suatu suara
yang digunakan dalam berbagai situasi dan tipe percakapan harus diberikan.
Istilah dalam “broadcast voice” dapat diberikan kepada tunanetra yang belum
mepelajari untuk menyesuaikan volume suaranya terhadap berbagai suaranya.
f.
Artifact
Artifact yaitu
manipulasi suatu obyek yang dapat dijadikan stimulus nonverbal. Parfum, make
up, pakaian, wig, semua yang termasuk alat kecantikan. Tunanetra dalam
penggunaannya harus mempelajari secara tepat benda-benda tersebut agar tidak
mengganggu penampilannya saat berinteraksi dengan orang lain.
g.
Lingkungan
Yang termasuk
dalam faktor lingkungan adalah perabotan rumah tangga, dekorasi interior,
lampu, aroma, warna, musik dan tempertur. Dalam mempelajari hal tersebut anak
tunanetra melakukan diskusi dengan orang tua untuk menata ruangan.
D.
PENDIDIKAN SEKS
Seksualitas
merupakan bagian integral manusia dan merupakan sebuah konsep holistic yang
memiliki spek intelektual, mental,
emosional, sosial, dan fiisik.
Faktor-faktor
yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan program pendidikan seks bagi tuna
netra ada 4 area yaitu:
a.
Interinsik,
meliputi: kepribadian, tempramen, sikap, pendidikan, kemampuan intelektual, dan
adaya kecacatan yang lain.
b.
Ekstrinsik, berasal
dari keluarga, status perkawinan orang tua, lingkungan, dan pengaruh etnik.
c.
Usia saat
terjadinya ketunanetraan
d.
Aspek terjadinya
kecacatan.
Program pendidikan
seks untuk tunanetra dapat diberikan dengan ujuan untuk:
-
Meningkatkan
informasi tentang seksualitas
-
Meningkatkan
pengetahuan tentang reproduksi
-
Memfasilitasi sikap
postif terhdap seksualitas
-
Mengurangi tindakan
penyalahgunaan seks
-
Menghindari
perbuatan seks pada usia muda.
Sonestian dan Pittmen (1984) menemukan kecenderugan
pprogram pendidikan seks yang meliputi topik-topik sebagai berikut:
Usia
|
Topik
|
5-8 tahun
|
Perbedaan fisik,
perubahan pada masa puber, siklus kehamilan, kehamilan dan kelahiran, akiba
kelahiran pada usia muda, penyakit kelamin, komunikasi dengan lawan jenis,
komunikasi dengan orang tua, nilai personal, masturbase.
|
9-10 tahun
|
Tanggungjawab
orang tua, hubungan cinta kasih, komitmen, keluarga berencana, gynicologi,
aborsi, homoseksual, pelecehan seks.
|
E.
REKREASI
Pengalaman
bermain dan rekreasi meyenangkan pada masa pertumbuhan dan erkembangan memiliki
dampak positive terhadap keshatan, pertumbuhan dan perkembangan intelek, kreativitas
dan ekspresi diri, penyesuaian sosial dan emosi, serta kepuasan diri. Agar
mendapat manfaat yang lebih banyak dari kegiatan bermain dan rekreasi, anak
tunanetra harus mendapat kesempatan yang bebas dan lebih banyak. Kegiatan
bermain dan rekreasi juga harus dibiasakan pada anak tuna netra agar bermain
dan rekreasi menjadi kebutuhan.
AKSES MEDIA BAGI ANNAK
TUNANETRA
Media
pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi)
pembelajaran dari sumber (guru atau lainnya) kepada penerima (peserta didik)
(John D. Latuheru 1988: 14). Media adalah sarana pedidikan yang digunakan
sebagai perantara dalam proses belejar mengajar untuk lebih mempertinggi efektivitas
serta efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin (Suharsimi
Arikunto 1987 16). Sehingga kita dapat menyimpilkan bahwa media pembelajaran
merupakan alat bantupembelajaran yang digunakan sesuai dengan tujuan dengan isi
materi sebagai usaha untuk menyampaikan informasi dari sumber belajar kepada
penerima informasi dengan tujuan unuk
memperoleh hasil belajar yang lebih baik dalam kegiatan belajar mengajar.
Dengan demikian maka seorang pendidik dalam melakukan proses belajar mengajar
harus dapat memilih antara media yang cocok dengan materi yang diberikan kepada
siswanya.
Penggunaan media pembelajaran yang
tidak sesuai mengakibatkan materi tidak tersampaikan. Dalam pemilihan materi
harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Seperti pada anak tunanetra
pengetahuan tentang sifat-sifat ruang dari benda yang biasanya dilakukan dengan
penglihatan, dapat dilakukan pula dengan rabaan anak tunanetra bisa mengetahui
tentang bentuk benda, besar kecilnya bahkan bisa mengerti halus kasarnya (tekstur)
dan daya lenting (elastisitas). Meskipun ada kelebihannya, anak tunanetra
memiliki kekurangan. Rabaan dibatasi oleh jarak jangkauan yang pendek, hanya
sepanjang tangan. Meskipun tidak tergantung pada cahaya, akibatnya benda yang
jauh tidak dapat dikenal, atau benda yang terlalu besar sulit untuk dikenali.
Persepsi warna merupakan kemampuan
yang khas yang dimiliki penglihatan dengan demkian penglihatan dapat
mengembangkan pengertian tentang warna secara verbal misalnya, emas dapat
diketahui berwarna kuning karena ia pernah mendengar dari orang lain bahwa emas
berwarna kuning. Akibat yang jelas dan mudah dilihat jika seseorang kehilagan
fungsi penglihatan adala ketikan ia terpaksa melakukan kegiatan
berpindah-pindah dan mencari sesuatu yang hilang.
Sebagai contoh ketika media peta timbul
digunakan siswa untuk mengenal konsep ruang yang dijelaskan pada pelajaran
sejarah, dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan mengalami pelajaran
tersebut melalui cerita. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya konsentrasi
dan ketertarika siswa. Pada saat siswa tuna netra meraba peta timbul dan
menerima sensasi raba, siswa diharapkan dapat lebih memahami. Sehingga media
peta timbul ini akan meningkatkan ketertarikan siswa pada pelajarannya dan
dapat meninggkakan hasil belajar siswa.
Kebanyakan anak tunanetra memerlukan
media khusus agar dapat mengakses informasi seperti dalam bentuk tulisan yang
dicetak besar untuk memudahkan anak dengan gangguan low vision, menggunakan
huruf Braille untuk anak dengan gangguan mata buta total, atau menggunakan
rekaman audio. Dengan demikian akses informasi dalam bentuk visual secara cepat
tidak dapat dilakukan dan tidak dapat dielakkan bahwa rekaman audio akan
mengurangi efisiensi dalam mengakses informasi.
Keterlambatan dalam akses informasi
dapat diilustrasikan dengan dunia komputer. Akses informasi melalui visual
dapat disamakan dengan cara komunikasi antara komputer dengan printer di mana sejumlah
informasi dapat ditransfer secara stimulan. Akses informasi melalui Braiile, rekaman
audio, dan tulisan cetak besar akan tidak akan terjadi apabila dengan urutan
tertrntu. Hal ini tidak saja lambat tetapi juga kurang flekibel.
Agar dapat mengurangi masalah
tersebut, anak tunanetra harus diajarkan dengan menggunakan metode yang lebih
efektif untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Strategi yang digunakan
setiap anak akan beragam sesuai dengan media yang dipilih. Meskipun demikian
mereka mengembangkan prosedur tersendiri untuk mencari informasi yang direkam
dalam tape sebelum mendengarkannya atau memperhatikan isi baku Braille untuk
mencari ringkasan sebelum membaca keseluruhan.
Sumber :
Sunanto,
Juang.2005. Potensi Anak Berkelainan Penglihatan.Jakarta. Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.