A. Pengertian Anak Tunarungu wicara
Tunarungu adalah istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar yang rentangannya mulai dari ringan hingga berat, meliputi tuli dan susah mendengar. Tuli adalah kondisi seseorang yang menyandang ketidakmampuan mendengar sehingga menghalangi dalam proses perolehan informasi bahasa lisan melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu mendengar (hearing aids). Susah mendengar adalah seseorang yang harus selalu menggunakan alat bantu mendengar untuk memperoleh informasi bahasa lisan melalui pendengaran, serta mempunyai sisa pendengaran yang cukup memungkinkan untuk memproses informasi bahasa lisan.Tunawicara adalah seseorang yang mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara normal (normal speech), sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dengan lingkungan.
Moh Amin (1999:1) dalam buku Orthopedagogik anak tuna rungu,menjelaskan anak tunarungu wicara adalah:
1. Mereka sejak lahir demikian kurang pendengaran, sehingga memustahilkan merekadapat belajar bahasa dan berbicara dengan cara-cara normal.
2. Mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal, tetapi sebelum mereka dapat bicara mendapat hambatan taraf berat pendengaran .
3. Mereka sekalipun sudah mulai dapat berbicara, tetapikarena saat terjangkitnya gangguan pendengaran, sebelum umur kira-kira 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah-olah hilang.
Mennurut Soewito yang dikutip Sardjono (1995:5) dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu, dapat mengartikan tunarungu adalah “Seseorang yang mengalami kesilitan berat sampai total, yang tidak dapat lagi menangkap tutur kata tanpa membaca bibir lawan bicaranya”.
Menurut pendapat dari Lani Bunawan (1999:1) dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu mengungkapkan masalah terbesar yang diakibatkan ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi dengan lingkungan. Bila seorang anak mengalami ketunarunguan sejak lahir, padanya tidak akan terjadi proses penguasaan bahasa secara spontan, sehingga dalam hidupnya di masyarakat yang mendengar, ia akan mengalami berbagai kesukaran dalam perkembangan sosial, emosi,dan mental.
MenurutSamsiar yang dikutip Sardjono (1996:6) menyatakan bahwa Anak tunarungu wicara adalah mereka yang sejak lahir kurang pendenagarannya sehingga memustahilkan mereka dapat belajar bahasa dan bicara dengan cara-cara normal atau mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal tetapi sebelum dapat berbicara mendapat hambatan taraf berat pada pendengarannya dan atau mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara tetapi saat terjangkitnya gangguan pendengaran sebelum kira-kira umur 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah –olah hilang.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu-wicara adalah seseorang yang kurang mampu mendengar suara atau bunyi yang ada di sekelilingnya, tetapi masih dapat mendengar suara-suara tertentu sesuai sisa pendengaran yagn dimilikinya. Anak tunarungu-wicara adalah seseorang yang mengalami ketulian ringan sampai berat dimana dampak dari ketunarunguannya adalah terhambatnnya komunikasi dengan orang sekelilingnya yang mampu mendengar.
B. Sejarah Tunarungu
Pada jaman dahulu anak tunarungu dan anak terbelakang mental (tunamental) sukar di bedakan, karena kedua –duanya sukar di ajak bicara. Orang yang mengajar murid tuli (tunarungu berat) yang pertama adalah PEDRO PONCE DELEON. Dia seorang biarawan di ST BENDEDICT (SPANYOL 1520 – 1584 Masehi).
Dialah yang melopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu keturunan bangsawan pada abad XVI (16), ia membuktikan bahwa anak tuna rungu dapat diajari bicara dan menulis. Alphabet pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha PLABLO BONET. Oleh BONET dijelaskan behwa dalam pengajarannya juga terdapat pelajaran ARTIKULASI seperti apa yang diberikan di Indonesia sekarang ini. Selajutnya Alphabet dari PLABLO BONET tersebut berupa abjad yang terdiri isyarat tangan. Kemudian dilanjutkan oleh JACOB RODRIGUES PEREIRE denan mengembangkan bahasa isyarat dengan mempergunakan tangan. Selain itu juga dikembangkan metode lain yang disebut metode bibir atau metode oral.
Pada abad XVII (17) JOHN BULWERE dan JOHN WALLIS di Inggris memulai penididikan dan pengajaran anak tunarungu dengan metode isyarat, sedangkan di negeri Belanda dirintis oleh JOHN AMMAN (1692). Dalam pemnbelajaran bahasa ia menulis antara lain jika murid-muridnya mulai membaca dan dapat mengerti maksudnya, dia memperlakukan mereka seperti anak yang baru lahir, yang sama sekali belum mengetahui apa-apa, mula-mula dia ajarkan nama-nama benda yang mereka kenal dan perlu sedikit demi sedikit sesudah dia tunjukkan dengan isyarat dimana dia rasakan betul.
Kemudian abad ke XVIII (18) muncullah seorang Paderi di Paris, ABBEDE L’EPPEE (1712 – 1789) nama lengkapnya ABBE CHARLES MICHEL DE L’EPPEE (Perancis). Dia membuka sekolah pertama untuk orang tuli pada tahun 1775 . selanjutnya ia mengatakan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa pembawaan anak tunarungu sejak lahir, mengajarkan bercakap terlalu banyak membuang waktu atau menghabiskan waktu, maka dari itu waktu dipergunakan untuk lebih memajukan perkembangan kecerdasan murid-muridnya dengan bahasa isyarat. Metode isyarat yang dikembangkan oleh ABBE DE L’EPPEE di Perancis tersebut mencoba semua pengertian diisyaratkan dari semua isyarat itu di coba digambarkan menjadi tanda-tanda gambar, sehingga isyarat yang sederhana saja sudah membutuhkan 3000 hingga 4000 buah tanda gambar. Dari inilah maka timbul abjad jari (Fingue Alphabet) yang mula mula menggunakan dua tangan kemudian disederhanakan menjadi abjad jari satu tangan , sehingga dia terkenal dengan sebutan tokoh metode isyarat (alican Perancis atau manualisme).
Selanjutnya bersamaan dengan periode itu SAMUEL HEINICKE di Jerman mengembangkan metode oral, jadi mulai itulah terjadi liran Jerman (aliran oralisme). Metode ini bertitik tolak dari pandangan bahwa anak tuli ( anak tunarungu berat ) memiliki potensial untuk berbicara dan dapat diajak bicara dengan baik. Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli (anak tunarungu berat ) untuk :
1. Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal.
2. Mendapat kesempatan berpribadi (memperoleh pengakuan harga diri).
3. Menyesuaikan diri dalam sosial dari vocational.
Keuntungan metode oral bagi anak tuli (tunarungu) adalah sebagai berikut:
a. Dengan latihan berbicara akan memberikan penjelasan yang lebih mudah kedunia sekitarnya, sehingga memperoleh penyesuaian dan sekaligus menghindarkan anak tuli (tunarungu) dari perasaan terisolir dan tekanan batin.
b. Bicara merupakan media komunikasi bersifat universal.
c. Pergaulan anak tuli (tunarungu) tidak terbatas pada dunia anak tuli (tunarungu) yang berisyarat saja.
d. Anak normalpun akan lebih mudah bergaul dengan anak tuli (tunarungu) yang berbicara.
e. Oralisme menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam dunia normal.
Kemudian secara bersama-sama aliran manualisme dan oralisme berkembang ke Amerika, Manualisme dikembangkan oleh GALAUDET atas pengaruhbelajar di Paris Perancis, sedangkan Oralisme dikembangkan oleh Alexander Graham Bell yang kemudian menemukan alat telepon yang kenamaan dengan mengembangkan pemakaian alat Bantu Dengar (HEARING AID) serta pengeras suara. Maka timbullah satuan ukuran pendengaran seseorang yang disebut deciBell (dB). Dan di Inggris dikembangkan oleh THOMAS BRAIDWOOD .
Di Indonesia pendidikan anak tunarungu dimulai di Bandung Jawa Barat, sekitar tahun 1930 dan beberapa tahun kemudian didirikan sekolah luar biasa B (SLB bagian B) di Wonosobo Jawa Tengah dan sekarang ini telah tersebar di seluruh tanah air Indonesia dan kebanyakan diselenggarakan oleh pihak swasta berupa yayasan – yayasan. Di Bali terdapat sekolah pembina tingkat nasional dan di Subang ada sekolah pembina luar biasa B tingkat Provinsi. Mengenai sistem pendidikan di Indonesia umumya mempergunakan metode membaca ajaran bibir (lip reading) namun sejak beberapa tahun di SLB/B kota Jakarta khususnya SLB/B Zinnia dan di Surabaya SLB/B karya Mulya telah dimulai dengan komunikasi total (total communication). Adapun pengertian komunikasi total menurut Edward Miner Gollandet (1837 – 1902) dalam buku A WORLD OF LANGUAGE FOR DEAR CHILDREN sebagai combined system and combined method yaitu a combined of signs, finger spelling and speech.
Jadi merupakan kombinasi isyarat, ejaan jari dan bicara. Komunikasi total ini akan dikembangkan di SLB/B seluruh Indonesia dengan dilakukannya kamus sistem isyarat bahasa Indonesia sebagai komponen komunikasi total pada tanggal 2 Mei 1994 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Ar. Ing. Wardiman Djojonegoro.
Selama ini belum terselenggara pendidikan terpadu secara resmi, meskipun sudah banyak anak-anak tunarungu yang berhasil duduk di bangku sekolah SMTP, SMTA, maupun Perguruan Tinggi. Pendidikan anak tunarungu telah dimulai pada usia yang sangat dini yakni pada usia 2 tahun atau pada usia dimana anak telah dapat berjalan.
Adapun tujuan pendidikan sedini mungkin diterapkan agar sisa pendengaran dapat dipertahankan dengan pemberian rangsangan atau stimulasi. Diharapkan anak dapat mengembangkan bicaranya (tidak bisu), sehingga hanya menjadi anak tunarungu dan tidak menjadi anak tunawicara.
Sumber:
Sardjono.1999.Orthopedagogik Anak Tunarungu 1. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Buhan, Lani.1999.Orthopedagogik Anak Tunarungu 1. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Amin, Moh.1999.Orthopedagogik Anak Tunarungu.Bandung: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Purwanto, Heri.1998.Ortopedagogik Umum.Yogyakarta:FIP IKIP Yogyakarta
Sardjono, 2000. Orthopedagogik Tunarungu I. Surakarta: UNS Press
Tunarungu adalah istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar yang rentangannya mulai dari ringan hingga berat, meliputi tuli dan susah mendengar. Tuli adalah kondisi seseorang yang menyandang ketidakmampuan mendengar sehingga menghalangi dalam proses perolehan informasi bahasa lisan melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu mendengar (hearing aids). Susah mendengar adalah seseorang yang harus selalu menggunakan alat bantu mendengar untuk memperoleh informasi bahasa lisan melalui pendengaran, serta mempunyai sisa pendengaran yang cukup memungkinkan untuk memproses informasi bahasa lisan.Tunawicara adalah seseorang yang mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara normal (normal speech), sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dengan lingkungan.
Moh Amin (1999:1) dalam buku Orthopedagogik anak tuna rungu,menjelaskan anak tunarungu wicara adalah:
1. Mereka sejak lahir demikian kurang pendengaran, sehingga memustahilkan merekadapat belajar bahasa dan berbicara dengan cara-cara normal.
2. Mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal, tetapi sebelum mereka dapat bicara mendapat hambatan taraf berat pendengaran .
3. Mereka sekalipun sudah mulai dapat berbicara, tetapikarena saat terjangkitnya gangguan pendengaran, sebelum umur kira-kira 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah-olah hilang.
Mennurut Soewito yang dikutip Sardjono (1995:5) dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu, dapat mengartikan tunarungu adalah “Seseorang yang mengalami kesilitan berat sampai total, yang tidak dapat lagi menangkap tutur kata tanpa membaca bibir lawan bicaranya”.
Menurut pendapat dari Lani Bunawan (1999:1) dalam buku Orthopedagogik Anak Tunarungu mengungkapkan masalah terbesar yang diakibatkan ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi dengan lingkungan. Bila seorang anak mengalami ketunarunguan sejak lahir, padanya tidak akan terjadi proses penguasaan bahasa secara spontan, sehingga dalam hidupnya di masyarakat yang mendengar, ia akan mengalami berbagai kesukaran dalam perkembangan sosial, emosi,dan mental.
MenurutSamsiar yang dikutip Sardjono (1996:6) menyatakan bahwa Anak tunarungu wicara adalah mereka yang sejak lahir kurang pendenagarannya sehingga memustahilkan mereka dapat belajar bahasa dan bicara dengan cara-cara normal atau mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal tetapi sebelum dapat berbicara mendapat hambatan taraf berat pada pendengarannya dan atau mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara tetapi saat terjangkitnya gangguan pendengaran sebelum kira-kira umur 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah –olah hilang.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu-wicara adalah seseorang yang kurang mampu mendengar suara atau bunyi yang ada di sekelilingnya, tetapi masih dapat mendengar suara-suara tertentu sesuai sisa pendengaran yagn dimilikinya. Anak tunarungu-wicara adalah seseorang yang mengalami ketulian ringan sampai berat dimana dampak dari ketunarunguannya adalah terhambatnnya komunikasi dengan orang sekelilingnya yang mampu mendengar.
B. Sejarah Tunarungu
Pada jaman dahulu anak tunarungu dan anak terbelakang mental (tunamental) sukar di bedakan, karena kedua –duanya sukar di ajak bicara. Orang yang mengajar murid tuli (tunarungu berat) yang pertama adalah PEDRO PONCE DELEON. Dia seorang biarawan di ST BENDEDICT (SPANYOL 1520 – 1584 Masehi).
Dialah yang melopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu keturunan bangsawan pada abad XVI (16), ia membuktikan bahwa anak tuna rungu dapat diajari bicara dan menulis. Alphabet pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha PLABLO BONET. Oleh BONET dijelaskan behwa dalam pengajarannya juga terdapat pelajaran ARTIKULASI seperti apa yang diberikan di Indonesia sekarang ini. Selajutnya Alphabet dari PLABLO BONET tersebut berupa abjad yang terdiri isyarat tangan. Kemudian dilanjutkan oleh JACOB RODRIGUES PEREIRE denan mengembangkan bahasa isyarat dengan mempergunakan tangan. Selain itu juga dikembangkan metode lain yang disebut metode bibir atau metode oral.
Pada abad XVII (17) JOHN BULWERE dan JOHN WALLIS di Inggris memulai penididikan dan pengajaran anak tunarungu dengan metode isyarat, sedangkan di negeri Belanda dirintis oleh JOHN AMMAN (1692). Dalam pemnbelajaran bahasa ia menulis antara lain jika murid-muridnya mulai membaca dan dapat mengerti maksudnya, dia memperlakukan mereka seperti anak yang baru lahir, yang sama sekali belum mengetahui apa-apa, mula-mula dia ajarkan nama-nama benda yang mereka kenal dan perlu sedikit demi sedikit sesudah dia tunjukkan dengan isyarat dimana dia rasakan betul.
Kemudian abad ke XVIII (18) muncullah seorang Paderi di Paris, ABBEDE L’EPPEE (1712 – 1789) nama lengkapnya ABBE CHARLES MICHEL DE L’EPPEE (Perancis). Dia membuka sekolah pertama untuk orang tuli pada tahun 1775 . selanjutnya ia mengatakan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa pembawaan anak tunarungu sejak lahir, mengajarkan bercakap terlalu banyak membuang waktu atau menghabiskan waktu, maka dari itu waktu dipergunakan untuk lebih memajukan perkembangan kecerdasan murid-muridnya dengan bahasa isyarat. Metode isyarat yang dikembangkan oleh ABBE DE L’EPPEE di Perancis tersebut mencoba semua pengertian diisyaratkan dari semua isyarat itu di coba digambarkan menjadi tanda-tanda gambar, sehingga isyarat yang sederhana saja sudah membutuhkan 3000 hingga 4000 buah tanda gambar. Dari inilah maka timbul abjad jari (Fingue Alphabet) yang mula mula menggunakan dua tangan kemudian disederhanakan menjadi abjad jari satu tangan , sehingga dia terkenal dengan sebutan tokoh metode isyarat (alican Perancis atau manualisme).
Selanjutnya bersamaan dengan periode itu SAMUEL HEINICKE di Jerman mengembangkan metode oral, jadi mulai itulah terjadi liran Jerman (aliran oralisme). Metode ini bertitik tolak dari pandangan bahwa anak tuli ( anak tunarungu berat ) memiliki potensial untuk berbicara dan dapat diajak bicara dengan baik. Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli (anak tunarungu berat ) untuk :
1. Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal.
2. Mendapat kesempatan berpribadi (memperoleh pengakuan harga diri).
3. Menyesuaikan diri dalam sosial dari vocational.
Keuntungan metode oral bagi anak tuli (tunarungu) adalah sebagai berikut:
a. Dengan latihan berbicara akan memberikan penjelasan yang lebih mudah kedunia sekitarnya, sehingga memperoleh penyesuaian dan sekaligus menghindarkan anak tuli (tunarungu) dari perasaan terisolir dan tekanan batin.
b. Bicara merupakan media komunikasi bersifat universal.
c. Pergaulan anak tuli (tunarungu) tidak terbatas pada dunia anak tuli (tunarungu) yang berisyarat saja.
d. Anak normalpun akan lebih mudah bergaul dengan anak tuli (tunarungu) yang berbicara.
e. Oralisme menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam dunia normal.
Kemudian secara bersama-sama aliran manualisme dan oralisme berkembang ke Amerika, Manualisme dikembangkan oleh GALAUDET atas pengaruhbelajar di Paris Perancis, sedangkan Oralisme dikembangkan oleh Alexander Graham Bell yang kemudian menemukan alat telepon yang kenamaan dengan mengembangkan pemakaian alat Bantu Dengar (HEARING AID) serta pengeras suara. Maka timbullah satuan ukuran pendengaran seseorang yang disebut deciBell (dB). Dan di Inggris dikembangkan oleh THOMAS BRAIDWOOD .
Di Indonesia pendidikan anak tunarungu dimulai di Bandung Jawa Barat, sekitar tahun 1930 dan beberapa tahun kemudian didirikan sekolah luar biasa B (SLB bagian B) di Wonosobo Jawa Tengah dan sekarang ini telah tersebar di seluruh tanah air Indonesia dan kebanyakan diselenggarakan oleh pihak swasta berupa yayasan – yayasan. Di Bali terdapat sekolah pembina tingkat nasional dan di Subang ada sekolah pembina luar biasa B tingkat Provinsi. Mengenai sistem pendidikan di Indonesia umumya mempergunakan metode membaca ajaran bibir (lip reading) namun sejak beberapa tahun di SLB/B kota Jakarta khususnya SLB/B Zinnia dan di Surabaya SLB/B karya Mulya telah dimulai dengan komunikasi total (total communication). Adapun pengertian komunikasi total menurut Edward Miner Gollandet (1837 – 1902) dalam buku A WORLD OF LANGUAGE FOR DEAR CHILDREN sebagai combined system and combined method yaitu a combined of signs, finger spelling and speech.
Jadi merupakan kombinasi isyarat, ejaan jari dan bicara. Komunikasi total ini akan dikembangkan di SLB/B seluruh Indonesia dengan dilakukannya kamus sistem isyarat bahasa Indonesia sebagai komponen komunikasi total pada tanggal 2 Mei 1994 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Ar. Ing. Wardiman Djojonegoro.
Selama ini belum terselenggara pendidikan terpadu secara resmi, meskipun sudah banyak anak-anak tunarungu yang berhasil duduk di bangku sekolah SMTP, SMTA, maupun Perguruan Tinggi. Pendidikan anak tunarungu telah dimulai pada usia yang sangat dini yakni pada usia 2 tahun atau pada usia dimana anak telah dapat berjalan.
Adapun tujuan pendidikan sedini mungkin diterapkan agar sisa pendengaran dapat dipertahankan dengan pemberian rangsangan atau stimulasi. Diharapkan anak dapat mengembangkan bicaranya (tidak bisu), sehingga hanya menjadi anak tunarungu dan tidak menjadi anak tunawicara.
Sumber:
Sardjono.1999.Orthopedagogik Anak Tunarungu 1. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Buhan, Lani.1999.Orthopedagogik Anak Tunarungu 1. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Amin, Moh.1999.Orthopedagogik Anak Tunarungu.Bandung: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Purwanto, Heri.1998.Ortopedagogik Umum.Yogyakarta:FIP IKIP Yogyakarta
Sardjono, 2000. Orthopedagogik Tunarungu I. Surakarta: UNS Press
0 komentar:
Posting Komentar