Anak tunanetra memiliki tingkat perkembangan tersendiri dibanding anak normal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya daya penglihatan sehingga memengaruhi kemampuan belajarnya. Oleh karena itu, guru yang membimbingnya dalam proses pembelajaran perlu memerhatikan berbagai perkembangan di dalam diri anak tunanetra sebagaimana dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari tunanetra, pengenalan atau perhatian terhadap dunia luar pada anak tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Menurut Somantri, perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhamba dibanding anak – anak pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja terkait erat dengan kecerdasan (IQ), tetapi juga kemampuan indra penglihatan.
Melalui indra penglihatan, seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, bukan hanya pada bentuk – bentuknya (objek berdimensi dua), tetapi juga mengamati warna dan dinamikanya (objek tiga dimensi). Melalui indra inilah sebagaian besar rangsangan atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu. Melalui kegiatan – kegiatan secara bertahap serta terus – menerus seperti itulah pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang mampu berkembang secara optimal.
2. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik Anak Tunanetra cenderung lambat. Kondisi tersebut terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem saraf dan otot) dengan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif) serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Pada anak tunanetra, boleh jadi neuromuscular system tidak bermasalah, tetapi fungsi psikis kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motorik.
Secara fisik, anak tunanetra mungkin mampu mencapai matangan sama dengan anak awas pada umumnya. Akan tetapi, fungsi psikis (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak, serta keberanian dalam melakukan sesuatu) yang terbatas mengakibatkan kematangan fisiknya tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan fungsi psikis ini, baik secara langsung maupun tidak terutama bersumber dari ketidakmampuannya dalam melihat.
3. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Dari sisi emosi, anak tunanetra juga mengalami sedikit hambatan dibanding anak awas, terutama disebabkan keterbatasannya dalam proses belajar. Pada awal masa kanak – kanak, anak tunanetra mungkin mencoba – coba untuk menyatakan emosinya. Namun, hal tersebut tetap dirasa tidak efisien karena ia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungan secara tepat. Akibatnya, pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan harapan diri sendiri atau lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi. Adapun maksud dari deprivasi emosi adalah sebuah keadaan dimana anak tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk meghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan sebagainya. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah mereka yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau masyarakat. Deprivasi emosi sangat berpengaruh terhadap kelambatan perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, serta sosial. Selain itu, anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan, perhatian, serta kasing sayang orang – orang sekitar.
4. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial dapat diartikan dengan kemampuan untuk mempelajari dan mempraktikan tingkah laku sesuai tuntutan masyarakat. Anak tunanetra tidak mudah menguasai seperangkat kemampuan bertingkah laku. Mereka lebih banyak menghadapi masalah perkembangan sosial. Hambatan – hambatan tersebut antara lain kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, malu, keterbatasan dalam melakukan proses identifikasi dan imitasi, serta sikap – sikap masyarakat yang sering tidak menguntungkan, seperti penolakan, penghinaan, dan tidak acuh.
Dengan demikian, perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama keluarga terhadap anak itu sendiri. Apabila perlakuan dan penerimaannya baik maka perkembangan sosial anak tunanetra tersebut akan berjalan positif. Sebaliknya, jika anak tunanetra diperlakukan secara buruk misalnya sering diejek dan dijauhi oleh lingkungannya maka perkembangan sosialnya akan terbelakang.
0 komentar:
Posting Komentar