Selasa, 13 September 2016

Problem Based Learning

A.    PENGERTIAN PROBLEM BASED LEARNING ( PBL )  
Model  Problem Based Learning  adalah model pembelajaran  dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga  siswa dapat  menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh  kembangkan  keterampilan yang  lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (menurut Arends dalam Abbas, 2000:13).
Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan berfikir kritis dan pemecahan masalah serta mendapatkan pengetahuan konsep- konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai ketrampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah penggunaannya di dalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar.
Problem Based Learning  atau Pembelajaran berbasis masalah meliputi pengajuan pertanyaan atau  masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya serta peragaan. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. Pembelajaran berbasis masalah antara lain bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah (Ibrahim 2002 : 5).
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak hanya cukup dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian ini antara lain:
1. asesmen kerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan pemecahan masalah, melihat bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan ketrampilannya. Airasian dalam  Diah Eko Nuryenti (2002) menyatakan bahwa penilaian kinerja memungkinkan siswa menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang sebenarnya. Sebagian masalah dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks atau lingkungannya, maka disamping pengembangan kurikulum juga perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai tujuan kurikulum yang memungkinkan siswa dapat secara aktif mengembangkan kerangka berfikir dalam memecahkan masalah serta kemampuannya untuk bagaimana belajar (learning how to learn). Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan siswa akan mudah beradaptasi. Dasar pemikiran pengembangan strategi pembelajaran tersebut sesuai dengan pandangan kontruktivis yang menekankan kebutuhan siswa untuk menyelidiki lingkungannya dan membangun pengetahuan secara pribadi pengetahuan bermakna (Ibrahim, 2000:19).
Ketika siswa masuk kelas mereka tidak dalam keadaan kosong, melainkan mereka telah memiliki pengetahuan awal.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka pembelajaran Pekerjaan Dasar Konstruksi Bangunan perlu diawali dengan mengangkat permasalahan yang sesuai dengan lingkungannya (permasalahan kontekstual). Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut.
a.    Autentik,  yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
b.    Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
c.     Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
d.    Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia.  Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
e.    Bermanfaat,  yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.

Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.  Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56) Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
Menurut Lepinski (2005) tahap-tahap pemecahan masalah sebagai berikut ini, yaitu: 1) penyampaian ide  (ideas), 2) penyajian fakta yang diketahui  (known facts), 3) mempelajari masalah (learning issues), 4) menyusun rencana tindakan, (action plan) dan 5) evaluasi (evaluation).

B.    KARAKTERISTIK PBL (PROBLEM BASED LEARNING)
Menurut Jefferson tahun 2001 (dalam Izzaty, 2006), ada beberapa karakteristik dari tipe pembelajaran PBL (Problem Based Learning)  yang menunjukkan adanya perbedaan dengan strategi dan tipe pembelajaran yang lain, yaitu:
1.    Problem Based Learning merupakan subset dari collaborative learning.
Dalam pembelajaran yang menggunakan tipe PBL, siswa bekerjasama secara berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Setiap anggota kelompok menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota. Guru menjadi tutor yang memfasilitasi siswa menjadi aktif. Oleh karena itu, tipe ini menciptakan suasana yang lebih aktif, lingkungan yang pembelajarannya berpusat pada siswa. Dengan demikian bagi siswa sendiri merasa senang karena difasilitasi untuk berkreasi dan merasa dihargai.
2.    Masalah yang akan dipecahkan diberitahukan terlebih dahulu sebelum siswa memiliki pengetahuan baru yang menjadi dasar untuk pemecahan masalah.
Dalam program kegiatan belajar, siswa akan berusaha untuk mencari berbagai macam pemecahan masalah dengan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru tentang situasi-situasi yang sebenarnya, sehingga akhirnya akan berasimilasi dan berakomodasi, sehingga  memunculkan pengetahuan baru.
3.    Integrative
Tujuan utama dari pembelajaran dengan tipe PBL ini adalah mendorong kemampuan siswa, sehingga semua materi pelajaran yang sudah dipelajari, diharapkan dapat diintegrasikan dalam pengetahuan baru siswa untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam hal ini, pendidik sebagai fasilitator yang membantu untuk menolong dan mendorong mahasiswa menemukan solusi yang tepat dengan pendekatan yang sistematik.
4.    Adanya evaluasi terhadap proses pemecahan masalah
Pada tipe PBL, evaluasi tidak dilakukan dengan menggunakan prosedur seperti tes pilihan berganda, essay, atau model ujian tertulis lainnya. Pendekatan evaluasi yang dilakukan tipe PBL ini adalah lebih dari proses metakognisi. Siswa didorong untuk memonitor pengetahuan yang sudah diperolehnya dalam proses penemuan hasil pemecahan masalah dengan membuat perencanaan pembelajaran yang efektif dalam kaitannya dengan permasalahan yang diajukan berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari pengetahuan yang sudah ada.

C.    PRINSIP PBL
Menurut Wardhani (2006: 10-18), prinsip-prinsip yang harus diacu dalam pelaksanaan PBL (Problem Based Learning) adalah sebagai berikut:
A.    Tugas-Tugas Perencanaan
1. Menetapkan tujuan pembelajaran
1.    Merancang situasi masalah yang sesuai
a)    Masalah harus autentik
b)    Masalah seharusnya tak terdefinisi secara ketat
c)    Masalah hendaknya bermakna bagi siswa
d)    Masalah hendaknya cukup luas
e)    Masalah hendaknya efisien dan efektif
2.    Mengorganisasikan sumber daya dan rencana logistik
B.    Tugas Interaktif
1.    Mengorientasikan siswa dalam situasi masalah
2.    Mengorganisasi siswa untuk belajar
3.    Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
4.    Pengumpulkan data dan eksperimentasi



C.    LANGKAH LANGKAH PBL   
John Dewey seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika memaparkan 6 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah ini :
a.    Merumuskan masalah.
Guru membimbing peserta didik untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan dalam proses pembelajaran, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan masalah tersebut.
b.    Menganalisis masalah.
Langkah peserta didik meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
c.    Merumuskan hipotesis.
Langkah peserta didik merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.
d.    Mengumpulkan data.
Langkah peserta didik mencari dan menggambarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
e.    Pengujian hipotesis.
Langkah peserta didik dalam merumuskan dan mengambil kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan
f.    Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah.
Langkah peserta didik menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

D.    KELEBIHAN PBL
Kelebihan dalam penerapan metode Pembelajaran Problem Based Learning antara lain:
a. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah menurutcara-cara atau gaya belajar individu masing-masing. Dengan cara mengetahui gaya belajar masing-masing individu, kita diharapkan dapat membantu menyesuaikan dengan pendekatan yang kitapakai dalam pembelajaran.
b. Pengembangan keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills).
c. Peserta didik dilatih untuk mengembangkan cara-cara menemukan (discovery), bertanya(questioning), mengungkapkan (articulating), menjelaskan atau mendeskripsikan (describing)mempertimbangkan atau membuat pertimbangan (considering), dan membuat keputusan (decision-making).
Dengan demikian, peserta didik menerapkan suatu proses kerja melalui suatu situasibermasalah, siang mengandung masalah.
Sebagai suatu model pembelajaran, Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya :
1. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
2. Meningkatakan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa.
3. Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah dunia nyata.
4. Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, PBM dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
5. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
6. Memberikan kesemnpatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
7. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
8. Memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna memecahkan masalah dunia nyata.

E.    KEKURANGAN PBL
Beberapa hal berikut merupakan “kekurangan” yang dapat ditemukan pada pelaksanaan PBL. Namun saya lebih cenderung untuk menyikapinya sebagai suatu hal yang perlu diwaspadai, dipertimbangkan, dan dicarikan solusi terbaiknya, bukan untuk dihindari karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari sebuah pilihan. Adanya konsekuensi tersebut membuat kita perlu membuat pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan.
•    Metode PBL tidak memberikan kesempatan pada staf pengajar untuk membagikan pengetahuannya secara langsung, sehingga mahasiswa kurang memetik pelajaran dari pengajar yang inspiratif. Staf pengajar lebih banyak berperan sebagai fasilitator daripada sebagai teladan (role model). Untuk memberikan kesempatan pada staf pengajar yang inspiratif tersebut, sebaiknya metode pembelajaran divariasikan. Beberapa hal terkadang tidak ditemukan dengan hanya membaca buku teks atau referensi cetak lainnya, sehingga mahasiswa memerlukan seorang role model, misalnya untuk penanaman nilai moral atau teknik presentasi.
•    Pengetahuan yang didapat melalui PBL cenderung tidak teratur. Mahasiswa dapat mempelajari apa saja yang mereka anggap perlu bagi diri mereka, sehingga tidak ada batasan cakupan pengetahuan. Hal ini dapat diminimalisasi dengan memberikan panduan belajar (study guide) pada mahasiswa guna menginformasikan pengetahuan minimal yang harus dikuasai mahasiswa.
•    Pelaksanaan PBL membutuhkan kompetensi yang tidak pernah dipelajari seorang dokter sebelumnya. Dokter yang menjadi staf pengajar cenderung untuk mengajar dengan metode tradisional sebagaimana dulu saat mereka menjalani pendidikan dokter. Oleh sebab itu diperlukan pelatihan khusus bagi staf pengajar untuk menjadi seorang fasilitator.
•    Biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dengan membagi mahasiswa menjadi kelompok-kelompok kecil, mempersiapkan ruangan yang banyak bagi seluruh kelompok dengan fasilitas yang diperlukan selama pelaksanaan PBL, menyediakan fasilitator terlatih untuk masing-masing kelompok, memperbanyak skenario sejumlah mahasiswa, dan sebagainya, sangat jelas akan menguras dana fakultas dan universitas.
•    Waktu belajar yang dibutuhkan mahasiswa relatif lama karena mahasiswa harus mengidentifikasi sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan, mempelajarinya secara mandiri, kemudian mendiskusikannya dengan kelompok. Hal ini merupakan konsekuensi dari pembelajaran dewasa dan saya menyebutnya sebagai perjuangan. Hasil dan manfaat yang mereka dapatkan akan jauh lebih besar dan melekat sangat kuat karena tenaga, waktu, dan pikiran yang mereka curahkan sangat besar dibandingkan dengan metode tradisional.






DAFTAR PUSTAKA
Davis MH, Harden RM. AMEE Medical Education Guide No. 15: Problem-based learning: a practical guide. Medical Teacher 1999;21(2):130-40.
Hemker HC. Critical perceptions on problem-based learning. Advances Health Science Education 1998;3(1):71-6.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net