Latar Belakang dan Orientasi Pendidikan Anak dengan Gangguan Motorik
I. Latar Belakang
Sistem Pendidikan Nasional merumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mecerdaskan kelhidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Mencerdaskan bangsa artinya membawa dan mengantarkan masyarakat Indonesia untuk mampu menerima, mengolah, dan mengembangkan pengetahuannya sehingga keberadaannya dapat sejajar dengan bangsa lain. Sedangkan menusia seutuhnya mengandung arti adanya keserasian antara demensi fisik dan demensi psikologis. Oleh karena itu segala bentuk, jenis dan subyek pendidikan di Indonesia diarahkan menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Warga negara yang menjadi subyek pendidikan tidak semuanya memiliki fisik, emosi, dan social yang normal. Dasar memperoleh pendidikan bagi mereka yang mengalami kelainan, secara yuridis telah disebutkan: (dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 “bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.”, (2) pasal 5 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”.
Warga Negara yang berkelainan (cacat, tuna) pada dasarnya adalah masyarakat juga. Mereka berasal dari keluarga, masyarakat dan memalui pergaulan, interaksi yang manusiawi dan proses pendidikan pada akhirnya mereka kembali lagi kemasyarakat (society) untuk membaur, beradaptasi, berkompetisi sesama warga masyarakat. Dalam proses tersebut tidak semudah seperti yang diucapkan. Kendala dan problema-problema yang ditemui dan dihadapi cukup kompleks, baik yang berasal dari individu yang bersangkutan, sistem pendidikan yang ada atau pun dari orang tua dan masyarakat itu sendiri. Permasalahan tersebut dapat diatasi manakala variabel-variabel pendidikanya itu ortopedagog, orang tua, dan masyarakat memiliki wawasan yang baik, wajar dan benar tentang pendidikan anak-anak yang berkelainan.
II. Orientasi Pendidikan Anak dengan Gangguan Motorik
1. Arah Pendidikan
Keanekaragaman jenis kelainan pada anak-anak dengan gangguan motorik disebabkan oleh faktor penyebab kelainan itu sendiri yaitu kelainan pada system cerebral dan kelainan pada system musculus skeletal. Sistem cerebral menyangkut aspek otak dengan segala fungsinya, dan system musculus skeletal berkaitan dengan jaringan otot-otot dan persendian. Pada lain pihak, kecacatannya sangat jelas, namun lainnya tidak begitu kelihatan kecacatannya. Dari gambaran tersebut dapat dimaknai bahwa anak-anak dengan gangguan motorik ada yang mengalami kelainan atau gangguan fisik dan kecerdasan, ada pula yang hanya mengalami kelainan fisik saja.
Keragaman jenis dan tingkat kecacatan pada anak dengan gangguan motorik berdampak terhadap segi layanan pendidikannya. Perbedaan tersebut terlihat dari tujuan pendidikan anak dengan gangguan motorik yang bersifat ganda (dual porpose). Tujuan ganda yang dimaksudkan adalah:
a. Berkaitan dengan aspek rehabilitasi dengan sasaran pemulihan fungsi fisik,
b. Berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Rehabilitasi fisik dalam system pendidikan anak dengan gangguan motorik tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu program rehabilitasi ini dalam pendidikan anak anak dengan gangguan motorik diberikan pertama kali dan kemudian secara bersama-sama atau simultan dengan program pendidikan. Kelainan fisik yang diderita oleh anak-anak dengan gangguan motorik yang beragam jenisnya memerlukan usaha pemulihan fungsi, pengembangan fungsi, ataupun prefensi tehadap prognosis yang tidak menguntungkan bagi anak dalam mengikuti pendidikan. Pemulihan fungsi fisik ini diberikan melalui program layanan rehabilitasi oleh tim medis dan paramedic bekerjasama dengan instansi kesehatan. Meskipun demikian guru-guru yang mengajar anak-anak anak dengan gangguan motorik perlu memiliki pengetahuan tentang rehabilitasi fisik anak anak dengan gangguan motorik.
Tujuan berikutnya dalam pendidikan anak dengan gangguan motorik berhubungan dengan layanan pendidikan. Secara umum yang ingin dicapai melalui pendidikan tersebut yaitu terbentuknya kemandirian dan pribadi yang utuh pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Conner (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya 7(tujuh) aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak dengan gangguan motorik melalui pendidikan yaitu:
a. Pengembangan intelektual dan akademik,
b. Membantu perkembangan fisik,
c. Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak,
d. Mematangkan aspek social,
e. Mematangkan moral dan spiritual,
f. Meningkatkan ekspresi diri,
g. Mempersiapkan masa depan anak.
a. Pengembangan Intelektual dan akademik
Kemampuan intelektual dan akademik anak anak dengan gangguan motorik harus dikembangan secara optimal. Hal mendasar yang perlu memperoleh perhatian adalah membangkitakan dan menumbuhkan kepercayaan diri pada anak anak dengan gangguan motorik (self-reliance). Dengan adanya kepercayaan diri akan kemampuan yang dimilikinya, mereka dapat menumbuhkan inisiatif dan kemampuan untuk memilih dan membuat alternative pilihan.
Kemampuan dan keterampilan akademik pada anak anak dengan gangguan motorik yang berkembang dengan baik, akan menumbuhkan pemahaman diri mereka terhadap dunia kehidupannya dan mereka dapat berkomunikasi secara efektif.
b. Membantu Perkembangan fisik
Dalam proses pendidikan gutu harus ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisik anak dengan gangguan motorik. Guru guru di kelas membantu staf medis untuk memelihara kesehatan anak anak melalui program kesehatan sekolah.
c. Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
Guru guru bekerjasama dengan psikoloh dan anggota staf lainnya membantu menemukan dan mengembangkan konsep diri anak (self-concept).
mengatasi strategi untuk menghadapi konflik interpersonal
d. Mematangkan Aspek Sosial
Dalam upaya mematangkan aspek social pada masing masing anak dengan gangguan motorik.terlebih dahulu perlu diketahui keadaan mereka baik yang mengankut kebutuhan maupun keiinginannya.mereka diajak untuk berpartisipasi dalam merencanakan,melaksanakan,dan mengevaluasi relasi relasi dan prestasi yang diperolehnya.
e. Mematangakan moral dan spiritual
Sebagaimana anak anak normal,anak dengan gangguan motorik pun memiliki kebutuhan pengembangan moral dan spritualnya.norma norma kehidupan dan landasan landasan kehidupan dapat membantu anak anak menemukan kebenran spiritual dan kepercayaan yang didambakan.
f. Meningkatkan ekspresi diri
Anak anak dengan gangguan motorik dengan keterbatasan dalam fungsi gerak,membutuhkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari sebahaimana anak anak normal lainnya.lreativitas ekspresi dapat ditimbulakan melalu kegiatan seni,tari,music drama dan ketrampilan atau kerajinan tangan.
g. Mempersiapkan masa depan anak
Pendidikan untuk anak anak dengan gangguan motorik harus direncanakan sematang mungkin secermat cermatnya.perencanaan yang dimaksudkan sampai pada tujuan apa yang dapat di peroleh anak anak setelah mereka meninggalkan sekolah
Dari Maynard Reynolds (1962) dan Evelyn Deno (1970) dalam Cartwright dan Cart wright, 1984:25 sebagai berikut,
Dikemukakan ada 7 tingkatan model layanan pendidikan luar biasa sesuai dengan berat ringan kecacatannya dan besar atau jumlah anak didik yang dapat ditampung, 7 tingkatan itu:
1. Sekolah Berasrama (full-time residential school)
Model ini disediakan hanya untuk anak dengan gangguan motorik yang memiliki tingkat kecacatan yang sangat berat. Konsep model ini awalnya dimaksudkan untuk anak-anak tunagrahita yang sangat berat dan juga anak-anak tunarungu. Bagi anak-anak dengan gangguan motorik model sekolah ini perlu dilengkapi dengan staf medis yang dapat menunjang kesehatan dan ortopedagog. Staf medis bertugas memberikan rehabilitasi fisik, sedangkan ortopedagog bertugas melayani rehabilitasi pendidikan
2. Sekolah Tidak Berasrama (special school day)
Sekolah model ini dimaksudkan untuk anak-anak dengan gangguan motorik yang memiliki kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat pemondokan mereka tidak jauh dari sekolah sehingga anak-anak tidak banyak mengalami kesulitan untuk datang ke sekolah. Model ini merupakan alternatif bagi anak anak yang dapat pulang pergi ke sekolah, sedangkan bagi mereka karena pertimbangan kesehatan dan tingkat kecacatan, sekolah model campuran merupakan model yang di tawarkan
3. Kelas khusus penuh ( full-time special class)
Anak-anak yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan yang cenderung homogen (terbelakang mental) dilayani secara khusus secara penuh. Guru inilah yang bertanggung jawab terhadap program pendidikan yang di biananya
4. Kelas reguler dan kelas khusus (part time regular class and part time special class)
Model kelas reguler dan kelas khusus merupakan alternatif layanan pendidikan yang sesuai dengan tingkat kecacatannya, ingin menyatukan dengan anak-anak normal lainnya. Pada mata pelajaran tertentu mereka belajar dengan anak anak normal lainnya, dan pada mata pelajaran tertentu mereka belajar dalam kelas khusus.
5. Kelas umum dibantu oleh guru khusus (reguler class with supportiv intructional service
Model ini dimaksudkan, mereka diberi kesempatan mengikuti pelajaran bersama anak anak normal, kesulitan dalam matapelajaran tertentu akan dikomunikasikan oleh instruktur yang membantunya. Model ini sesuai untuk anak dengan gangguan motorik yang mengalami kesulitan pada 1 atau 2 matapelajaran, sehingga dengan model ini potensinya dapat berkembang optimal.
6. Kelas umum dengan konsultan guru-guru umum (regular class placement with consulting services for regular teachers)
Model ini menawarkan adanya kunjungan ke sekolah-sekolah, guru kunjungan yang dimaksud adalah guru yang ahli dalam pendidikan luar biasa dan perannya sebagai konsultan. Dalam kaitannya dengan program pembelajaran, guru kunjungan atau konsultan tersebut bertugas menyiapkan materi khusus yang akan diajarkan pada kelas regule. Dalam pembelajaran tidak selamanya anak bisa menangkap semuanya, maka disiapkan program remidi dan itu perlu di persiapkan oleh guru konsultan. Bagi anak anka yang prestasinya baik dan perlu program pengayaan (enrichment) juga harus direncanakan dan dimprogram oleh guru konsulatan yang tersebut. Tanggung jawab dalam model ini sepenuhnya di pegang oleh guru kelas, guru konsultan berperan dalam membantu kelancaran belajar.
7. Kelas normal (reguler classroom)
Model ini diperuntukan untuk anak anak dengan gangguan motorik yang memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama sama dengan anak anak normal. Jenis kecacatan yang disandangnya tergolong ringan, sehingga sepintas tidak menampakan kecacatan, dan anak anak tundadaksa yang memiliki kecerdasan normal. Perkembangan layanan pendidikan bagi anak berkelainan (luar biasa). Sedini mungkin harus menyenakan mereka belajar bersama-sama dengan anak normal (LRE, least restrictive environment) dengan mempertimbangkan kemampuan mereka masing masing. Model Evelyn Dino jenjang ke 4-7 merupakan alternatif alternatif pendidikan yang di tawarkan kepada keluarga dan masyarakat yang memiliki anak anak dengan gangguan motorik.
III. Landasan-Landasan Pendidikan
Dalam hubungan dengan pendidikan anak dengan gangguan motorik tercapainya kehidupan yang layak, utuh, dan mandiri sesuai dengan kemampuan mereka masing masing perlu di disain dalam pengelolaan pendidikannya. Adapun landasan penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan gangguan motorik berlandaskan : agama, kemanusiaan, ideologi, hukum, dan landasan ilmu pendidikan.
1. Landasan Agama
Dalam perkembangan diri, manusia dituntut untuk belajar, baik pengetahuan agama ataupu ilmu pengetahuan lainnya yang menyangkut secara langsung kehidupan dunia. Sedangkan ynag dimaksud dengan wujud tersebut adalah hasil diri yang diperolehnya selama yang bersangkutan hidup, sebagai makhluk yang beragama tolong menlong dalam kebaikan adalah hal yang dianjurkan, sehingga dalam mengukur keberhasilan seseorang bersosialisasi dilihat dari seberapa besar keberadaanya bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Di hadapan Tuhan Yang Maha Esa manusia pada dasarnya sama yang membedakan hanyalah amalan perbuatannya. Tuhan tidak membedakan warna kulit, ras, bahas, jenis kelamin, status sosial ekonomi, cacat fisik, atau yang dianugrahi dengan fisik yang normal. Agama pula sangat penting dalam mengembangngkan potensi yang dimiliki sehingga mereka dapat hidup mandiri di tengah tengah yang penuh persaingan hidup.
2. Landasan Kemanusiaan
Manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, seperti kebutuhan yang bersifat fisik, maakan, minum, beristirahat, dan yang bersifat psikis: kasih sayang, rasa aman, ingin dihargai, ingin diakui keberadaanya, dan juga ingin memperoleh pendidikan yang layak. Demikian pula dengan anak anak dengan gangguan motorik, pada umumnya memiliki kebutuhan seperti mereka yang normal. Adanya keterbatasan dalam mobilisasi dan hambatan dalam kecerdasan, secara manusiawi mereka perlu dipikirkan layanan pendidikannya agar mereka dapat hidup layak sesuai dengan kemampuannya.
3. Landasan ideology
Dalam mnegatur prikehidupan bangsa tidak semata mata hanya memikirkan yang normal normal saja, tetapi juga anak anak yang cacat. Sia sila dari pancasila tidak ada yang meremehkan atau tidak memperhatikan mereka yang cacat, semua sila mengajarkan adanya persamaan hak antara yang normal dan yang cacat. Hak mereka dilindungi agar keberadaanya sebagai manusia memperoleh porsi yang semestinya. Karena model model layanan pendidikan untuk anak anak dengan gangguan motorik senantiasa perlu dipikirkan dan di kembangkan kembali sehingga kemampuan mereka berkembangan sebagaimana layaknya, dan mereka dapat berperan dalam pembangunan bangsa sesuai dengan kemampuannya.
4. Landasan hukum
a. Undang undang dasar 1945
Undang undang dasar 1945vmenjamin hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan, sepoerti tersebut pada bab XIII pasal 31 ayat (1) yaitu: “setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. jadi mereka yang normal atu cacat/berkelainan seperti halnya anak dengan gangguan motorik berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kemampuan mereka masing masing.
b. Undang undang tentang sistem pendidikan nasional
Undang undang no. 2 tahun1989 tentang sistem pendidikan nasional, menyebutkan fungsi pendidikan nasional adalah “mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional” (pasal 3. UUSPN) menurut rumusan fungsi pendidikan nasional setifdaknya ada 3w fungsi yang dapat di petik 1. Mengembangkan kemampuan 2. Meningkatkan mutu kehidupan 3. Meningkatkan martabat manusia indonesia. Secara tegas pula disebutkan tentang hak warga negara memperoleh pendidikan, sebagaimana dalam bab III pasal 5 (UUSPN tahun 1989) yaitu, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Sedangkan pasal 8 ayat (1) menyebutkan: warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan pada ayat (2) mengemukakan: warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh perhatian khusus.
Pasal pasal dan ayat ayat dalam UUSPN tersebut memperkuat landasan tentang pengakuan bahwa anak anak yang berkelainan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang seluas luasnya bagi anak dengan gangguan motorik. Dalam pasal 6, UUSPN: setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang kmurangnya setara dengan pengetahuan kemampuan dan keterampilan dalam tamatan pendidikan dasar. Mengacu pada ketentuan tersebut jenis pendidikan maupun jenjang pendidikan sepenuhnya tergantung pada kemampuan mereka.
c. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991.
ini landasan hukum pendidikan luar biasa yang khusus mengatur tentang pendidikan luar biasa. Bab II, pasal 2 menyebutkan yaitu membantu peserta didik yang manyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, peagetahuan dan kcicrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mcngadukan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sckitar serla dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Rumusan tujuan pendidikan luar biasa tersebut, memiliki dua sasaran. Sasaran pertama ditujukan kepada anak-anak didik yang memiliki kemam¬puan khusus, Sasaran pendidikan yang kedua, yaitu menyiapkan anak luar biasa untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Bentuk satuan dan lama PLB, secara berjenjang adalah TKLB , SDLB , SLTPLB , dan SMLB
Untuk mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan luar biasa baik oleh pemerintah atau masyarakat harus memenuhi persyaratan pendiriannya sesuai denganBab V. pasal 7, PP. No.72
d. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) merupakan arahan bagi penyelenggara negara dalam mewujudkan cita-cita negara. Anak-anak dengan gangguan motorik adalah juga berperan sebagai penduduk bangsa Indonesia. Pemerintah melalui program pembangunan meletakkan azas pemerataan munuju tercapainya keadilan sosial masih menjadi sasaran utama yang ditempuhnyii melalui jalur-jalur pemerataan. Anak-anak dengan gangguan motorik, dimanapun mereka berada periu memperoleh
layanan pendidikan dengan model layanan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kemampuan anak-anak tersebut
5) Landasan llmu Pendidikan.
Ilmu pendidikan merupakan ilmu yang mempelajari proses pendidikan, yaitu proses yang membawa manusia ke arah kedewasaan. Sasaran pendidikan adalah mendewasakan anak didik,
Dilihat dari sudut pandang ilmu pendidikan memberikan landasan dalam penyelenggaraan pendidikan luar biasa. Landasan tersebut terkaca dari obyek material ilmu pendidikan itu sendiri yaitu perilaku manusia. Usia lima tahun pertama sangat menentukan pembentukan individu yang bersangkutan (Rochman N.W, 1991).
Sedangkan teori diri (self-theory), menyatakan bahwa perilaku individu itu merupakan perwujudan diri (set/actualization). Diri (self) yang terdapat dalam diri rririnusia terbentuk oleh interaksi individu dalam pergaulan, pengalaman, dengan lingkungan.
Rumusan tujuan Pendidikan Nasional menekankan adanya keutuhan diri dalam subyek diri, sehingga mereka dapat tampil prima di tengah-tcngah masyarakat scbagai individu yang mandiri, mantap, bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Anak didik, termasuk anak-anak dengan gangguan motorik, merupakan insan yang mempunyaipotensi, karena itu mereka dapat dan harus dididik.
Metode pendidikan yang baik akan mencerminkan pemahaman yang nicndalam tentang anak didik. Metode pendidikan yang baik adalah yang berhasil guna dan berdayaguna dalam proses pendidikan.
Metode pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat merangsang anak didik mengarah pada perpaduan nilai-nilai individualitas, sosialitas, moralitas, dan personalitas.
Setiap tindakan pendidikan perlu disesuaikan dengan konteks sosio-kultural. Sosio¬kultural merupakan sumber yang melatarbelakangj proses dan situasi pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak dapat lepas dengan budaya bangsa Indonesia, yaitu budaya Pancasila dan kebhinekaan bangsa Indonesia.
B. Makna Pendidikan
1. Proses Pendidikan
Secara etimologis makna pendidikan berasal dari kata makna yang diartikan sebagai keberartian. Keberartian itu tampak dalam prilaku atau perbuatan yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Sedangkan istilah pendidikan dapat dipandang dari sudut sebagai proses, artinya merupakan upaya peningkatan kualitas kehidupan pribadi dan inasyarakat dan dapat pula dipandang sebagai hasil. Dalam hal ini Dewey (Rochman Natawidjaja, 1991: 5) mengemukakan:
kehidupan adalah perkembangan, dan perkembangan itu adalah kehidupan. Apabila hal itu. diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan maka berarti (1) bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai akhir di luar pendidikan itu sendiri, (2) bahwa proses pendidikan merupakan proses reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi yang tents bersinambungan.
Dari pernyataan Dewey tentang proses pendidikan yang dikaitkan dengun kchidupan, secara tegas dikatakan bahwa kehidupan adalah perkembangan, dan perkembangan itu sendiri adalah kehidupan.
Proses pendidikan tidak mempunyai akhir, artinya bahwa pendidikan itu berlangsung terus-menerus, tidak ada henti-hentinya. Proses pendidikan laru berakhir setelah tidak adanya kehidupan dalam diri individu. Dengan kata lain yang mengakhiri proses pendidikan pada manusia adalah kematian. Ulasan tersebut memberiknn penjelasan bahwa dilihat dari rentang usia subyek pendidikan, pada hakikatnya pendidikan itu berlangsung seumur hidup.
Konsep pendidikan berlangsung seumur hidup (life long education) tidak hanya berlaku untuk orang-orang normal tetapi juga untuk orang-orang berkelainan. Sekilas terliaht kontroversi antara kedewasaan sebagai tujuan pendidikan dengan hakekat pendidikan yang berlangsung seumur hidup. Kontroversi yang dimaksudkan adalah tidak akan terjadinya "kedewasaan" pada setiap orang, walaupun perannya sebagai pendidik. Pendidikan seumur hidup bukan berarti hanya untuk mereka yang belum dewasa; tetapi pengertian pendidikan seumur hidup itu berlaku untuk umum, yaitu semua orang (education for all). Dengan demikian, semua orang selama memiliki kemampuan untuk belajar yang bersangkutan telah mengikuti prinsip bahwa perkembangan itu adalah kehidupan.
Pendidikan sebagai proses transformasi artinya dalam proses pendidikan tersebut, pendidik menyampaikan pengetahuan, pengaJaran, kebiasaan, prestasi dan lain sebagainya kepada teididik (anak, siswa) sehingga mereka dapat mengerti, menerima, dan menghayati nilai-nilai pendidikan yang selama ini belum dimiliki. Proses pendidikan pada anak dengan gangguan motorik berjalan seiring dengan usianya, tetapi dapat terhambat oleh kecacatan dan kemampuan yang dimilikinya.
Keterbatasan daya talar pada anak-anak dengan gangguan motorik dapat mempengaruhi proses memahami arti pendidikan yang diberikan oleh guru, keadaan ini merupakan gejala umum dari anak-anak dengan gangguan motorik yang kelainannya disebabkan oleh si stem cerebral misalnya anak-anak cerebral palsy. Dengan demikian, konsep reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi dalam pendidikan menurut Dewey dapat diterapkan dalam pendiJikan anak-anak dengan gangguan motorik sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak.
Nilai-nilai pendidikan
Sifatnya pribadi dan kolektif
a. Nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik diharapkan mereka mampu menyadari bahwa dirinya merupakan ciptaan Tuhan dan karenanya wajib beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
b. Nilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi dan anggota masyarakat
Sasaran pendidikan adalah mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terdapat dalam diri anak didik.
c. Nilai tanggung jawab
Nilai pendidikan yang berwawasan moral, tujuan yang ingin dicapai adalah terbentuknya nilai tanggung jawab dalam diri peserta didik.
C. Pendekatan Multi Disipliner
Pendekatan Multidisipliner atau pendekatan tim adalah teknik pendekatan yang mampu menangani dan mengantisipasi masalah yang timbul pada diri anak dengan gangguan motorik di sekolah. Dalam pendekatan multidisipliner melibatkan banyak ahli yang profesional dalam bidangnya masing-masing.
Para profesional yang mendukung penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa untuk anak-anak dengan gangguan motorik, meliputi :
1. Pekerja sosial (social worker)
2. Dokter (dokter anak, dokter syaraf, dokter ortopedi, dokter rehabilitasi, dokter gigi dan dokter0dokter ahli lainnya)
3. Ahli fisioterapis (physiotherapist)
4. Ahli terapi okupasi (occupational therapist)
5. Guru pendidikan luar biasa (special educator)
6. Guru olah raga khusus (adapted physical educator)
7. Ahli rekreasi (therapiutic recreation)
8. Konselor (rehabilitation conselor)
9. Ahli terapi bicara ( speech therapist)
10. Ahli psikologi (psychlogist)
11. Ahli gizi (nutrisionist)
12. Ahli membuat kaki, tangan palsu (orthotic)
Para ahli tersebut bekerja secara simultan sesuai dengan wewenang masing-masing sebelum menyerahkan pendidikannya pada guru pendidikan luar biasa.
D. Ruang Lingkup Bahan Ajar
Siapa sebenarnya Anak dengan gangguan motorik ?
(1) Pengertian, jenis, prevalensi dan karakteristik anak dengan gangguan motorik. Meliputi: anak poloimyelitis, anak cerebral palsy, dystrophya musculorum progresiva, dan cacat-cacat yang lain.
(2) Penyebab, pencegahan ketunadaksaan, problema dan assesment anak dengan gangguan motorik
Bagaimana Sistem Pendidikan Anak dengan gangguan motorik ?
(1) Sejarah, tempat dan sistem pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik; sejarah pendidikan anak dengan gangguan motorik di sekolah umum (sistem integrasi), sekolah khusus (sistem segregasi), dan pendidikan di rumah sakit.
(2) Kurikulum pendidikan anak tunadaaksa
(3) Strategi belajar mengajar anak dengan gangguan motorik, mengemukakan tentang pendekatan-pendekatan daalam kegiatan pembelajaran, individualisasi pengajaran dan lingkungan belajar yang menunjang.
(4) Bimbingan belajar anak dengan gangguan motorik, menyajikan teknik-teknik remidial membaca, menulis, matemaatika, dan mata-mata pelajaran lain yang disampaikan di sekolah.
(5) Pendidikan pada orangtua anak dengan gangguan motorik, menyajikan cara memahami karakteristik dan kebutuhan anak dengan gangguan motorik, cara membantu menangani kesulitan belajar anak, dan cara menolong dalam kehiddupan sehari-hari.
(6) Pendidikan bagi anak dengan gangguan motorik yang mampu/akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, program-program paket keterampilan yang diperlukan untuk bekal bekerja di masyarakat.
Bagaimana peran guru dalam membantu rehabilitasi anak dengan gangguan motorik ?
(1) Pola gerak abnormal anak tunads koreksinya, menyajikaan pola geraak yang abnormal dari gerak dasar tubuh mulai dari duduk, berdiri, sampai dengan berjalan serta teknik-teknik membetulkannya.
(2) Aktivitas kehidupan sehari-hari anak dengan gangguan motorik, meliputi aktivitas kehidupan sehari (ADL): makan, minum, mandi, toilet, berpakaian, dan teknik memberi bantuan ADL.
(3) Penggunaan alat-alat ambulasi anak dengan gangguan motorik, meliputi: bahasa tentang brace, splint, kursi roda (wheel chair), kruk (crutch), tongkat (scane) walker, crowler, dan cara-cara penggunaannya.
I. Latar Belakang
Sistem Pendidikan Nasional merumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mecerdaskan kelhidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Mencerdaskan bangsa artinya membawa dan mengantarkan masyarakat Indonesia untuk mampu menerima, mengolah, dan mengembangkan pengetahuannya sehingga keberadaannya dapat sejajar dengan bangsa lain. Sedangkan menusia seutuhnya mengandung arti adanya keserasian antara demensi fisik dan demensi psikologis. Oleh karena itu segala bentuk, jenis dan subyek pendidikan di Indonesia diarahkan menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Warga negara yang menjadi subyek pendidikan tidak semuanya memiliki fisik, emosi, dan social yang normal. Dasar memperoleh pendidikan bagi mereka yang mengalami kelainan, secara yuridis telah disebutkan: (dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 “bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.”, (2) pasal 5 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”.
Warga Negara yang berkelainan (cacat, tuna) pada dasarnya adalah masyarakat juga. Mereka berasal dari keluarga, masyarakat dan memalui pergaulan, interaksi yang manusiawi dan proses pendidikan pada akhirnya mereka kembali lagi kemasyarakat (society) untuk membaur, beradaptasi, berkompetisi sesama warga masyarakat. Dalam proses tersebut tidak semudah seperti yang diucapkan. Kendala dan problema-problema yang ditemui dan dihadapi cukup kompleks, baik yang berasal dari individu yang bersangkutan, sistem pendidikan yang ada atau pun dari orang tua dan masyarakat itu sendiri. Permasalahan tersebut dapat diatasi manakala variabel-variabel pendidikanya itu ortopedagog, orang tua, dan masyarakat memiliki wawasan yang baik, wajar dan benar tentang pendidikan anak-anak yang berkelainan.
II. Orientasi Pendidikan Anak dengan Gangguan Motorik
1. Arah Pendidikan
Keanekaragaman jenis kelainan pada anak-anak dengan gangguan motorik disebabkan oleh faktor penyebab kelainan itu sendiri yaitu kelainan pada system cerebral dan kelainan pada system musculus skeletal. Sistem cerebral menyangkut aspek otak dengan segala fungsinya, dan system musculus skeletal berkaitan dengan jaringan otot-otot dan persendian. Pada lain pihak, kecacatannya sangat jelas, namun lainnya tidak begitu kelihatan kecacatannya. Dari gambaran tersebut dapat dimaknai bahwa anak-anak dengan gangguan motorik ada yang mengalami kelainan atau gangguan fisik dan kecerdasan, ada pula yang hanya mengalami kelainan fisik saja.
Keragaman jenis dan tingkat kecacatan pada anak dengan gangguan motorik berdampak terhadap segi layanan pendidikannya. Perbedaan tersebut terlihat dari tujuan pendidikan anak dengan gangguan motorik yang bersifat ganda (dual porpose). Tujuan ganda yang dimaksudkan adalah:
a. Berkaitan dengan aspek rehabilitasi dengan sasaran pemulihan fungsi fisik,
b. Berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Rehabilitasi fisik dalam system pendidikan anak dengan gangguan motorik tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu program rehabilitasi ini dalam pendidikan anak anak dengan gangguan motorik diberikan pertama kali dan kemudian secara bersama-sama atau simultan dengan program pendidikan. Kelainan fisik yang diderita oleh anak-anak dengan gangguan motorik yang beragam jenisnya memerlukan usaha pemulihan fungsi, pengembangan fungsi, ataupun prefensi tehadap prognosis yang tidak menguntungkan bagi anak dalam mengikuti pendidikan. Pemulihan fungsi fisik ini diberikan melalui program layanan rehabilitasi oleh tim medis dan paramedic bekerjasama dengan instansi kesehatan. Meskipun demikian guru-guru yang mengajar anak-anak anak dengan gangguan motorik perlu memiliki pengetahuan tentang rehabilitasi fisik anak anak dengan gangguan motorik.
Tujuan berikutnya dalam pendidikan anak dengan gangguan motorik berhubungan dengan layanan pendidikan. Secara umum yang ingin dicapai melalui pendidikan tersebut yaitu terbentuknya kemandirian dan pribadi yang utuh pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Conner (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya 7(tujuh) aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak dengan gangguan motorik melalui pendidikan yaitu:
a. Pengembangan intelektual dan akademik,
b. Membantu perkembangan fisik,
c. Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak,
d. Mematangkan aspek social,
e. Mematangkan moral dan spiritual,
f. Meningkatkan ekspresi diri,
g. Mempersiapkan masa depan anak.
a. Pengembangan Intelektual dan akademik
Kemampuan intelektual dan akademik anak anak dengan gangguan motorik harus dikembangan secara optimal. Hal mendasar yang perlu memperoleh perhatian adalah membangkitakan dan menumbuhkan kepercayaan diri pada anak anak dengan gangguan motorik (self-reliance). Dengan adanya kepercayaan diri akan kemampuan yang dimilikinya, mereka dapat menumbuhkan inisiatif dan kemampuan untuk memilih dan membuat alternative pilihan.
Kemampuan dan keterampilan akademik pada anak anak dengan gangguan motorik yang berkembang dengan baik, akan menumbuhkan pemahaman diri mereka terhadap dunia kehidupannya dan mereka dapat berkomunikasi secara efektif.
b. Membantu Perkembangan fisik
Dalam proses pendidikan gutu harus ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisik anak dengan gangguan motorik. Guru guru di kelas membantu staf medis untuk memelihara kesehatan anak anak melalui program kesehatan sekolah.
c. Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
Guru guru bekerjasama dengan psikoloh dan anggota staf lainnya membantu menemukan dan mengembangkan konsep diri anak (self-concept).
mengatasi strategi untuk menghadapi konflik interpersonal
d. Mematangkan Aspek Sosial
Dalam upaya mematangkan aspek social pada masing masing anak dengan gangguan motorik.terlebih dahulu perlu diketahui keadaan mereka baik yang mengankut kebutuhan maupun keiinginannya.mereka diajak untuk berpartisipasi dalam merencanakan,melaksanakan,dan mengevaluasi relasi relasi dan prestasi yang diperolehnya.
e. Mematangakan moral dan spiritual
Sebagaimana anak anak normal,anak dengan gangguan motorik pun memiliki kebutuhan pengembangan moral dan spritualnya.norma norma kehidupan dan landasan landasan kehidupan dapat membantu anak anak menemukan kebenran spiritual dan kepercayaan yang didambakan.
f. Meningkatkan ekspresi diri
Anak anak dengan gangguan motorik dengan keterbatasan dalam fungsi gerak,membutuhkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari sebahaimana anak anak normal lainnya.lreativitas ekspresi dapat ditimbulakan melalu kegiatan seni,tari,music drama dan ketrampilan atau kerajinan tangan.
g. Mempersiapkan masa depan anak
Pendidikan untuk anak anak dengan gangguan motorik harus direncanakan sematang mungkin secermat cermatnya.perencanaan yang dimaksudkan sampai pada tujuan apa yang dapat di peroleh anak anak setelah mereka meninggalkan sekolah
Dari Maynard Reynolds (1962) dan Evelyn Deno (1970) dalam Cartwright dan Cart wright, 1984:25 sebagai berikut,
Dikemukakan ada 7 tingkatan model layanan pendidikan luar biasa sesuai dengan berat ringan kecacatannya dan besar atau jumlah anak didik yang dapat ditampung, 7 tingkatan itu:
1. Sekolah Berasrama (full-time residential school)
Model ini disediakan hanya untuk anak dengan gangguan motorik yang memiliki tingkat kecacatan yang sangat berat. Konsep model ini awalnya dimaksudkan untuk anak-anak tunagrahita yang sangat berat dan juga anak-anak tunarungu. Bagi anak-anak dengan gangguan motorik model sekolah ini perlu dilengkapi dengan staf medis yang dapat menunjang kesehatan dan ortopedagog. Staf medis bertugas memberikan rehabilitasi fisik, sedangkan ortopedagog bertugas melayani rehabilitasi pendidikan
2. Sekolah Tidak Berasrama (special school day)
Sekolah model ini dimaksudkan untuk anak-anak dengan gangguan motorik yang memiliki kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat pemondokan mereka tidak jauh dari sekolah sehingga anak-anak tidak banyak mengalami kesulitan untuk datang ke sekolah. Model ini merupakan alternatif bagi anak anak yang dapat pulang pergi ke sekolah, sedangkan bagi mereka karena pertimbangan kesehatan dan tingkat kecacatan, sekolah model campuran merupakan model yang di tawarkan
3. Kelas khusus penuh ( full-time special class)
Anak-anak yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan yang cenderung homogen (terbelakang mental) dilayani secara khusus secara penuh. Guru inilah yang bertanggung jawab terhadap program pendidikan yang di biananya
4. Kelas reguler dan kelas khusus (part time regular class and part time special class)
Model kelas reguler dan kelas khusus merupakan alternatif layanan pendidikan yang sesuai dengan tingkat kecacatannya, ingin menyatukan dengan anak-anak normal lainnya. Pada mata pelajaran tertentu mereka belajar dengan anak anak normal lainnya, dan pada mata pelajaran tertentu mereka belajar dalam kelas khusus.
5. Kelas umum dibantu oleh guru khusus (reguler class with supportiv intructional service
Model ini dimaksudkan, mereka diberi kesempatan mengikuti pelajaran bersama anak anak normal, kesulitan dalam matapelajaran tertentu akan dikomunikasikan oleh instruktur yang membantunya. Model ini sesuai untuk anak dengan gangguan motorik yang mengalami kesulitan pada 1 atau 2 matapelajaran, sehingga dengan model ini potensinya dapat berkembang optimal.
6. Kelas umum dengan konsultan guru-guru umum (regular class placement with consulting services for regular teachers)
Model ini menawarkan adanya kunjungan ke sekolah-sekolah, guru kunjungan yang dimaksud adalah guru yang ahli dalam pendidikan luar biasa dan perannya sebagai konsultan. Dalam kaitannya dengan program pembelajaran, guru kunjungan atau konsultan tersebut bertugas menyiapkan materi khusus yang akan diajarkan pada kelas regule. Dalam pembelajaran tidak selamanya anak bisa menangkap semuanya, maka disiapkan program remidi dan itu perlu di persiapkan oleh guru konsultan. Bagi anak anka yang prestasinya baik dan perlu program pengayaan (enrichment) juga harus direncanakan dan dimprogram oleh guru konsulatan yang tersebut. Tanggung jawab dalam model ini sepenuhnya di pegang oleh guru kelas, guru konsultan berperan dalam membantu kelancaran belajar.
7. Kelas normal (reguler classroom)
Model ini diperuntukan untuk anak anak dengan gangguan motorik yang memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama sama dengan anak anak normal. Jenis kecacatan yang disandangnya tergolong ringan, sehingga sepintas tidak menampakan kecacatan, dan anak anak tundadaksa yang memiliki kecerdasan normal. Perkembangan layanan pendidikan bagi anak berkelainan (luar biasa). Sedini mungkin harus menyenakan mereka belajar bersama-sama dengan anak normal (LRE, least restrictive environment) dengan mempertimbangkan kemampuan mereka masing masing. Model Evelyn Dino jenjang ke 4-7 merupakan alternatif alternatif pendidikan yang di tawarkan kepada keluarga dan masyarakat yang memiliki anak anak dengan gangguan motorik.
III. Landasan-Landasan Pendidikan
Dalam hubungan dengan pendidikan anak dengan gangguan motorik tercapainya kehidupan yang layak, utuh, dan mandiri sesuai dengan kemampuan mereka masing masing perlu di disain dalam pengelolaan pendidikannya. Adapun landasan penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan gangguan motorik berlandaskan : agama, kemanusiaan, ideologi, hukum, dan landasan ilmu pendidikan.
1. Landasan Agama
Dalam perkembangan diri, manusia dituntut untuk belajar, baik pengetahuan agama ataupu ilmu pengetahuan lainnya yang menyangkut secara langsung kehidupan dunia. Sedangkan ynag dimaksud dengan wujud tersebut adalah hasil diri yang diperolehnya selama yang bersangkutan hidup, sebagai makhluk yang beragama tolong menlong dalam kebaikan adalah hal yang dianjurkan, sehingga dalam mengukur keberhasilan seseorang bersosialisasi dilihat dari seberapa besar keberadaanya bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Di hadapan Tuhan Yang Maha Esa manusia pada dasarnya sama yang membedakan hanyalah amalan perbuatannya. Tuhan tidak membedakan warna kulit, ras, bahas, jenis kelamin, status sosial ekonomi, cacat fisik, atau yang dianugrahi dengan fisik yang normal. Agama pula sangat penting dalam mengembangngkan potensi yang dimiliki sehingga mereka dapat hidup mandiri di tengah tengah yang penuh persaingan hidup.
2. Landasan Kemanusiaan
Manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, seperti kebutuhan yang bersifat fisik, maakan, minum, beristirahat, dan yang bersifat psikis: kasih sayang, rasa aman, ingin dihargai, ingin diakui keberadaanya, dan juga ingin memperoleh pendidikan yang layak. Demikian pula dengan anak anak dengan gangguan motorik, pada umumnya memiliki kebutuhan seperti mereka yang normal. Adanya keterbatasan dalam mobilisasi dan hambatan dalam kecerdasan, secara manusiawi mereka perlu dipikirkan layanan pendidikannya agar mereka dapat hidup layak sesuai dengan kemampuannya.
3. Landasan ideology
Dalam mnegatur prikehidupan bangsa tidak semata mata hanya memikirkan yang normal normal saja, tetapi juga anak anak yang cacat. Sia sila dari pancasila tidak ada yang meremehkan atau tidak memperhatikan mereka yang cacat, semua sila mengajarkan adanya persamaan hak antara yang normal dan yang cacat. Hak mereka dilindungi agar keberadaanya sebagai manusia memperoleh porsi yang semestinya. Karena model model layanan pendidikan untuk anak anak dengan gangguan motorik senantiasa perlu dipikirkan dan di kembangkan kembali sehingga kemampuan mereka berkembangan sebagaimana layaknya, dan mereka dapat berperan dalam pembangunan bangsa sesuai dengan kemampuannya.
4. Landasan hukum
a. Undang undang dasar 1945
Undang undang dasar 1945vmenjamin hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan, sepoerti tersebut pada bab XIII pasal 31 ayat (1) yaitu: “setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. jadi mereka yang normal atu cacat/berkelainan seperti halnya anak dengan gangguan motorik berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kemampuan mereka masing masing.
b. Undang undang tentang sistem pendidikan nasional
Undang undang no. 2 tahun1989 tentang sistem pendidikan nasional, menyebutkan fungsi pendidikan nasional adalah “mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional” (pasal 3. UUSPN) menurut rumusan fungsi pendidikan nasional setifdaknya ada 3w fungsi yang dapat di petik 1. Mengembangkan kemampuan 2. Meningkatkan mutu kehidupan 3. Meningkatkan martabat manusia indonesia. Secara tegas pula disebutkan tentang hak warga negara memperoleh pendidikan, sebagaimana dalam bab III pasal 5 (UUSPN tahun 1989) yaitu, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Sedangkan pasal 8 ayat (1) menyebutkan: warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan pada ayat (2) mengemukakan: warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh perhatian khusus.
Pasal pasal dan ayat ayat dalam UUSPN tersebut memperkuat landasan tentang pengakuan bahwa anak anak yang berkelainan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang seluas luasnya bagi anak dengan gangguan motorik. Dalam pasal 6, UUSPN: setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang kmurangnya setara dengan pengetahuan kemampuan dan keterampilan dalam tamatan pendidikan dasar. Mengacu pada ketentuan tersebut jenis pendidikan maupun jenjang pendidikan sepenuhnya tergantung pada kemampuan mereka.
c. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991.
ini landasan hukum pendidikan luar biasa yang khusus mengatur tentang pendidikan luar biasa. Bab II, pasal 2 menyebutkan yaitu membantu peserta didik yang manyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, peagetahuan dan kcicrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mcngadukan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sckitar serla dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Rumusan tujuan pendidikan luar biasa tersebut, memiliki dua sasaran. Sasaran pertama ditujukan kepada anak-anak didik yang memiliki kemam¬puan khusus, Sasaran pendidikan yang kedua, yaitu menyiapkan anak luar biasa untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Bentuk satuan dan lama PLB, secara berjenjang adalah TKLB , SDLB , SLTPLB , dan SMLB
Untuk mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan luar biasa baik oleh pemerintah atau masyarakat harus memenuhi persyaratan pendiriannya sesuai denganBab V. pasal 7, PP. No.72
d. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) merupakan arahan bagi penyelenggara negara dalam mewujudkan cita-cita negara. Anak-anak dengan gangguan motorik adalah juga berperan sebagai penduduk bangsa Indonesia. Pemerintah melalui program pembangunan meletakkan azas pemerataan munuju tercapainya keadilan sosial masih menjadi sasaran utama yang ditempuhnyii melalui jalur-jalur pemerataan. Anak-anak dengan gangguan motorik, dimanapun mereka berada periu memperoleh
layanan pendidikan dengan model layanan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kemampuan anak-anak tersebut
5) Landasan llmu Pendidikan.
Ilmu pendidikan merupakan ilmu yang mempelajari proses pendidikan, yaitu proses yang membawa manusia ke arah kedewasaan. Sasaran pendidikan adalah mendewasakan anak didik,
Dilihat dari sudut pandang ilmu pendidikan memberikan landasan dalam penyelenggaraan pendidikan luar biasa. Landasan tersebut terkaca dari obyek material ilmu pendidikan itu sendiri yaitu perilaku manusia. Usia lima tahun pertama sangat menentukan pembentukan individu yang bersangkutan (Rochman N.W, 1991).
Sedangkan teori diri (self-theory), menyatakan bahwa perilaku individu itu merupakan perwujudan diri (set/actualization). Diri (self) yang terdapat dalam diri rririnusia terbentuk oleh interaksi individu dalam pergaulan, pengalaman, dengan lingkungan.
Rumusan tujuan Pendidikan Nasional menekankan adanya keutuhan diri dalam subyek diri, sehingga mereka dapat tampil prima di tengah-tcngah masyarakat scbagai individu yang mandiri, mantap, bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Anak didik, termasuk anak-anak dengan gangguan motorik, merupakan insan yang mempunyaipotensi, karena itu mereka dapat dan harus dididik.
Metode pendidikan yang baik akan mencerminkan pemahaman yang nicndalam tentang anak didik. Metode pendidikan yang baik adalah yang berhasil guna dan berdayaguna dalam proses pendidikan.
Metode pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat merangsang anak didik mengarah pada perpaduan nilai-nilai individualitas, sosialitas, moralitas, dan personalitas.
Setiap tindakan pendidikan perlu disesuaikan dengan konteks sosio-kultural. Sosio¬kultural merupakan sumber yang melatarbelakangj proses dan situasi pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak dapat lepas dengan budaya bangsa Indonesia, yaitu budaya Pancasila dan kebhinekaan bangsa Indonesia.
B. Makna Pendidikan
1. Proses Pendidikan
Secara etimologis makna pendidikan berasal dari kata makna yang diartikan sebagai keberartian. Keberartian itu tampak dalam prilaku atau perbuatan yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Sedangkan istilah pendidikan dapat dipandang dari sudut sebagai proses, artinya merupakan upaya peningkatan kualitas kehidupan pribadi dan inasyarakat dan dapat pula dipandang sebagai hasil. Dalam hal ini Dewey (Rochman Natawidjaja, 1991: 5) mengemukakan:
kehidupan adalah perkembangan, dan perkembangan itu adalah kehidupan. Apabila hal itu. diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan maka berarti (1) bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai akhir di luar pendidikan itu sendiri, (2) bahwa proses pendidikan merupakan proses reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi yang tents bersinambungan.
Dari pernyataan Dewey tentang proses pendidikan yang dikaitkan dengun kchidupan, secara tegas dikatakan bahwa kehidupan adalah perkembangan, dan perkembangan itu sendiri adalah kehidupan.
Proses pendidikan tidak mempunyai akhir, artinya bahwa pendidikan itu berlangsung terus-menerus, tidak ada henti-hentinya. Proses pendidikan laru berakhir setelah tidak adanya kehidupan dalam diri individu. Dengan kata lain yang mengakhiri proses pendidikan pada manusia adalah kematian. Ulasan tersebut memberiknn penjelasan bahwa dilihat dari rentang usia subyek pendidikan, pada hakikatnya pendidikan itu berlangsung seumur hidup.
Konsep pendidikan berlangsung seumur hidup (life long education) tidak hanya berlaku untuk orang-orang normal tetapi juga untuk orang-orang berkelainan. Sekilas terliaht kontroversi antara kedewasaan sebagai tujuan pendidikan dengan hakekat pendidikan yang berlangsung seumur hidup. Kontroversi yang dimaksudkan adalah tidak akan terjadinya "kedewasaan" pada setiap orang, walaupun perannya sebagai pendidik. Pendidikan seumur hidup bukan berarti hanya untuk mereka yang belum dewasa; tetapi pengertian pendidikan seumur hidup itu berlaku untuk umum, yaitu semua orang (education for all). Dengan demikian, semua orang selama memiliki kemampuan untuk belajar yang bersangkutan telah mengikuti prinsip bahwa perkembangan itu adalah kehidupan.
Pendidikan sebagai proses transformasi artinya dalam proses pendidikan tersebut, pendidik menyampaikan pengetahuan, pengaJaran, kebiasaan, prestasi dan lain sebagainya kepada teididik (anak, siswa) sehingga mereka dapat mengerti, menerima, dan menghayati nilai-nilai pendidikan yang selama ini belum dimiliki. Proses pendidikan pada anak dengan gangguan motorik berjalan seiring dengan usianya, tetapi dapat terhambat oleh kecacatan dan kemampuan yang dimilikinya.
Keterbatasan daya talar pada anak-anak dengan gangguan motorik dapat mempengaruhi proses memahami arti pendidikan yang diberikan oleh guru, keadaan ini merupakan gejala umum dari anak-anak dengan gangguan motorik yang kelainannya disebabkan oleh si stem cerebral misalnya anak-anak cerebral palsy. Dengan demikian, konsep reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi dalam pendidikan menurut Dewey dapat diterapkan dalam pendiJikan anak-anak dengan gangguan motorik sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak.
Nilai-nilai pendidikan
Sifatnya pribadi dan kolektif
a. Nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik diharapkan mereka mampu menyadari bahwa dirinya merupakan ciptaan Tuhan dan karenanya wajib beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
b. Nilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi dan anggota masyarakat
Sasaran pendidikan adalah mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terdapat dalam diri anak didik.
c. Nilai tanggung jawab
Nilai pendidikan yang berwawasan moral, tujuan yang ingin dicapai adalah terbentuknya nilai tanggung jawab dalam diri peserta didik.
C. Pendekatan Multi Disipliner
Pendekatan Multidisipliner atau pendekatan tim adalah teknik pendekatan yang mampu menangani dan mengantisipasi masalah yang timbul pada diri anak dengan gangguan motorik di sekolah. Dalam pendekatan multidisipliner melibatkan banyak ahli yang profesional dalam bidangnya masing-masing.
Para profesional yang mendukung penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa untuk anak-anak dengan gangguan motorik, meliputi :
1. Pekerja sosial (social worker)
2. Dokter (dokter anak, dokter syaraf, dokter ortopedi, dokter rehabilitasi, dokter gigi dan dokter0dokter ahli lainnya)
3. Ahli fisioterapis (physiotherapist)
4. Ahli terapi okupasi (occupational therapist)
5. Guru pendidikan luar biasa (special educator)
6. Guru olah raga khusus (adapted physical educator)
7. Ahli rekreasi (therapiutic recreation)
8. Konselor (rehabilitation conselor)
9. Ahli terapi bicara ( speech therapist)
10. Ahli psikologi (psychlogist)
11. Ahli gizi (nutrisionist)
12. Ahli membuat kaki, tangan palsu (orthotic)
Para ahli tersebut bekerja secara simultan sesuai dengan wewenang masing-masing sebelum menyerahkan pendidikannya pada guru pendidikan luar biasa.
D. Ruang Lingkup Bahan Ajar
Siapa sebenarnya Anak dengan gangguan motorik ?
(1) Pengertian, jenis, prevalensi dan karakteristik anak dengan gangguan motorik. Meliputi: anak poloimyelitis, anak cerebral palsy, dystrophya musculorum progresiva, dan cacat-cacat yang lain.
(2) Penyebab, pencegahan ketunadaksaan, problema dan assesment anak dengan gangguan motorik
Bagaimana Sistem Pendidikan Anak dengan gangguan motorik ?
(1) Sejarah, tempat dan sistem pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik; sejarah pendidikan anak dengan gangguan motorik di sekolah umum (sistem integrasi), sekolah khusus (sistem segregasi), dan pendidikan di rumah sakit.
(2) Kurikulum pendidikan anak tunadaaksa
(3) Strategi belajar mengajar anak dengan gangguan motorik, mengemukakan tentang pendekatan-pendekatan daalam kegiatan pembelajaran, individualisasi pengajaran dan lingkungan belajar yang menunjang.
(4) Bimbingan belajar anak dengan gangguan motorik, menyajikan teknik-teknik remidial membaca, menulis, matemaatika, dan mata-mata pelajaran lain yang disampaikan di sekolah.
(5) Pendidikan pada orangtua anak dengan gangguan motorik, menyajikan cara memahami karakteristik dan kebutuhan anak dengan gangguan motorik, cara membantu menangani kesulitan belajar anak, dan cara menolong dalam kehiddupan sehari-hari.
(6) Pendidikan bagi anak dengan gangguan motorik yang mampu/akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, program-program paket keterampilan yang diperlukan untuk bekal bekerja di masyarakat.
Bagaimana peran guru dalam membantu rehabilitasi anak dengan gangguan motorik ?
(1) Pola gerak abnormal anak tunads koreksinya, menyajikaan pola geraak yang abnormal dari gerak dasar tubuh mulai dari duduk, berdiri, sampai dengan berjalan serta teknik-teknik membetulkannya.
(2) Aktivitas kehidupan sehari-hari anak dengan gangguan motorik, meliputi aktivitas kehidupan sehari (ADL): makan, minum, mandi, toilet, berpakaian, dan teknik memberi bantuan ADL.
(3) Penggunaan alat-alat ambulasi anak dengan gangguan motorik, meliputi: bahasa tentang brace, splint, kursi roda (wheel chair), kruk (crutch), tongkat (scane) walker, crowler, dan cara-cara penggunaannya.
sumber:
Assjari, Musjafak. (1995). Ortopedagogik Anak Tuna Daksa, Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
0 komentar:
Posting Komentar