REHABILITASI PSIKOSOSIAL AKIBAT KETUNANETRAAN PADA USIA DEWASA
PENDAHULUAN
A. GARIS BESAR ISI ARTIKEL
Ketunanetraan dan disabilitas pada umumnya berdampak besar terhadap kehidupan individu. Diantara banyak ranah kehidupan yang dapat terpengaruh oleh disabilitas itu adalah aspek fisik, psikologis, sosial, vokasional, ekonomi, dan reaksi (Liveh & Cook, 2004). Reaksi individu terhadap kehilangan penglihatan yang terjadi pada masa dewasa bersifat idiosinkratik, bervariasi dari individu, baik dalam bentuk reaksinya, tahapannya maupun waktu yang di butuhkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Penelitian menunjukan bahwa individu dengan tingkat kemampuan kognitif lebih tinggi cenderung memiliki penyesuaian yang lebih positif terhadap ketunanetraan, dan bahwa individu yang sudah mempunyai lebih banyak pengalaman pendidikan rehabilitasi juga cenderung lebih baik dalam penyesuaiannya (Harrungton & Mcdermott, 1993). Di samping itu, kualitas dukungan keuarga dan sahabat, jenis strategi coping yang dipergunakan saat ini untuk menghadapi kehilangan penglihatan, dan tingkat kegiatan individu, merupakan ranah yang paling signifikan untuk memprediksi keberhasilan adaptasi terhadap kondisi ketunanetraan (Horowitz Reinhardt, & Mclnerney, 2005).
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap proses penyesuaian individu terhadap ketunanetraannya adalah sikap masyarakat. Sikap negatef masyarakat tersebut diakibatkan oleh persepsi yang tidak tepat mengenai ketunanetraan. Dengan kata lain, ekspetasi masyarakat pada umumnya terhadap orang tunanetra masih sangat rendah. Dengan stigma social tentang ketunanetraan itu, maka label “tunanetra” yang tiba-tiba diberikan kepada seorang individu dapat mengakibatkan merasa kehilangan harga diri, dan harga diri terkait dengan proses penyesuaiandiri (Dodds, 1993). Jadi, kehilangan harga diri lebih disebabkan oleh mekanisme perendahan citra dirinya sendiri. Paparan diatas menunjukan bahwa ketunanetraan mempengaruhi individu pada berbagi level, yakni level persepsi, perilaku,kognitif dan emosi yang menuntut individu itu mengubah caranya berpersepsi, berperilaku, berpikir, dan merasakan berbagai hal.
B. TELAAH ARTIKEL
1. Menurut Pendapat Para Ahli Isi
o Menurut Suroyo, Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. (Suroyo, 1977)
o Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (dalam Sih Dwi Utami), rehabilitasi di artikan sebagai suatu pemulihan kepada kedudukan semula / keadaan semula ( J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 1994 : 1147-1148 ) .
o Menurut James Drever (dalam Sih Dwi Utami) dalam bukunya Kamus Psikologi, rehabilitasi adalah memugar kembali kemampuan yang hilang menjadi suatu kondisi yang memuaskan setelah kemampuan ini dirusak, biasanya melalui luka (1998 : 402).
o Menurut Banja (dalam Sri Widarti) Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistic dan terpadu atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan vokasional yang memberdayakan seorang (individu penyandang cacat) untuk meraih pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan interaksi efektif yang fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615).
o menurut PP No.72/1991 ( dalam Sri Widarti), tentang PLB dan SK Mendikbud No.0126/U/1994 pada lampiran 1 tentang Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Luar Biasa, disebutkan bahwa rehabilitasi merupakan upaya bantuan medik, sosial, dan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti pendidikan. Usaha rehabilitasi merupakan proses rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas rehabilitasi secara bertahap, berkelanjutan, dan terus menerus sesuai dengan kebutuhan.
o MenurutPeraturanPemerintah No.36/1980 ( dalam Sri Widarti), tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penderita Cacat, rehabilitasi didefinisikan sebagai suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan fungsisosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
o Suparlan (1993:124) (dalam Sri Widarti), mengemukakan bahwa rehabilitasi merupakan suatu proses kegiatan untuk memperbaiki kembali dan mengembangkan fisik, kemampuan serta mental seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya.
o J.P. Chaplin (dalam Sih Dwi Utami) mendifinisikan rehabilitasi sebagai suatu bentuk perbaikan (pemulihan) mengarah pada normalitasm, atau pemulihan menuju status yang paling memuaskan terhadap individu yang pernah menderita luka atau menderita sebagai suatu mental.
o Layanan rehabilitasi medis pada kelainan mata menurut Sri Widarti adalah
Bagi anak yang masih memiliki sisa kemampuan melihat, rehabilitasi yang diberikan adalah rehabilitasi visus, yaitu: bantuan penyediaan kacamata dan transplantasi cornea, serta operasi pada penderita katarak. Sedangkan bagi anak yang buta total, memerlukan rehabilitasi aesthetis berupa penggunaan mata palsu (prothese). Dan bagi anak yang juling memerlukan rehabilitasi aesthetis berupa operasi strabismus, memperbaiki gerak yang statis dan kurang serasi.
2. Artikel Dibandingkan dengan Pendapat Pribadi
Menurut pandangan saya, rehabilitasi psikososial sangat diperlukan bagi anak tuna netra dan anak berkebutuhan khusus yang lainnya.Saya sependapat bahwa salah satu mengatasi masalah psikososial pada individu tunanetra bisa diatasi dengan cara strategi coping. MacArtur (1999 – dalam Didi Tarsidi,2012) mendefinisikan strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupum psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yanga menimbulkan stress. Ketunanetraan memang dapat menimbulkan berbagai tantangan, tetapi Tuhan telah menyediakan jalan untuk mengatasinya, sehingga ketunanetraan tidak harus menghalangi orang untuk mencapai keehidupan yang bermakna, baik bagi dirinya maupun orang lain. Banyak tunanetra dewasa yang lebih tua, yang pada umumnya telah berjuang untuk menjadi orang dewasa yang mandiri dan bangga dengan kemandiriannya, tetapi mereka harus dihadapkan pada realita baru bahwa dalam hal-hal tertentu mereka harus bergantung pada bantuan orang lain. Maka dari itu harus ada pendekatan-pendekatan supaya individu di usia dewasa ini bisa dapat menerima ketunanetraanya dengan baik. Pendekatan ini menurut saya harus dilakukan atau di fokuskan pada beberapa aspek yakni pendekatan psikologinya, pendekatan ini agar individu tersebut dapat menerima realita ketunanetraannya, mengembalikan rasa percaya dirinya, mampu menumbuhkan kegairahan dalam belajar serta menumbuhkan kemampuan emosionalnya. Contohnya adalah dilakukannya berbagai macam terapi khusus anak tunanetra, bimbingan konseling untuk memotivasi individu, dll. Kemudian pendekatan terhadap perilaku dari individu tersebut sehingga dengan pendekatan ini individu tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehari-hari dengan penglihatan yang sangat terbatas. Contohnya bisa individu diberi terapi perilaku sehingga tahu beradaptasi dengan lingkungan, individu di beri alat yang mendukung aktivitasnya seperti tongkat putih, dll. Kemudian pendekatan sosialnya, dengan pendekatan ini diharapkan individu yang mengalami ketunanetraan pada usia dewasa bisa bersosial dengan baik dengan orang lain terumanya masyarakat sekitar. Contohnya meminta orang tua untuk membina atau melatih dan mengawasi kegiatan individu, meminta masyarakat untuk lebih memahami individu anak tunanetra, dll.
Tidak hanya itu mengatasi masalah psikososial pada individu tunanetra juga membutuhkan peran dari keluarga dimana keluarga harus bisa memberi dorongan semangat dan motivasi dan tidak menambah kecacatannya. Peran masyarakatpun juga diperlukan karena jika lingkungan di masyarakat memberi dukungan secara positif maka individu tersebut bisa bersosial dengan baik dan akan lebih bersemangat untuk menjalani hidup walaupun dengan keadaan tunanetra. Kemudian lembaga-lembaga bersangkutan yang bisa berkontribusi untuk membantu anak tunanetra seperti lembaga pendidikan dan lembaga ketunanetraan. Lembaga pendidikan wajib memberi fasilitas atau sebuah layanan pendidikan khusus bagi individu tunanetra di usia dewasa diharapakan dengan pendidikan ini sikap psikologi dan sosial individu tunanetra pada usia dewasa lebih matang dan bisa memahami kondisi dirinya yang mempunyai keterbatasan. Lembaga sosial ketunanetraan juga harus ikut andil dimana lembaga sosial ini bisa memberi keterampilan sehingga individu tersebut bisa lebih terampil dengan keterbatasan yang dimilikinya.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi, untuk membantu masalah-masalah psikosial anak tunadaksa di usia dewasa perlu dilakukan pendekatan khusus yang pendekatan khusus tersebut di fokuskan pada psikologinya, perilakunya, dan sosial emosionalnya. Di samping itu juga dibutuhkan dukungan moralitas dari berbagai elemen seperti dukungan keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait agar anak tunadaksa lebih nyaman dan bisa menyesuaikan diri dengan keadaannya.
B. SARAN DAN KRITIK
Individu tunanetra merupakan individu yang memiliki kebutuhan khusus sehingga mereka membutuhkan layanan khusus untuk bisa beradaptasi dan mengembangkan potensinya, terutama bagi individu tunanetra yang berusia dewasa mereka membutuhkan hal-hal yang bisa membantu mereka hidup bermasyarakat dengan baik. Masih banyak individu di usia dewasa yang masih belum bisa beradaptasi dan mengeksplorasi bakat yang dimilikinya, karena kurangnya dukungan dan perhatian bagi individu tersebut, contohnya masih banyak yang menganggap tunanetra individu yang tidak bisa apa-apa sehingga individu tersebut merasa di dunia ini hanya sendiri tidak ada yang bisa di ajak bersosialisasi kecuali dengan keluarganya. Oleh karena itu, penulis menyarankan bahwa kesadaran semua pihak baik masyarakat, lembaga – lembaga jasa untuk memberi bantuan moral,ssemangat dan membina individu tunanetra agar individu tunanetra bisa beadaptasi, mengeluarkan rasa percaya dirinya, dan tidak merasa bahwa dirinya tidak di kucilkan dalam masyarakat.
Pemerintah juga harus berkewajiban memberi sarana yang mendukung bagi individu tunanetra, seperti pendidikan khusus pengembangan kreativitas, tempat terapi khusus anak tunanetra, dll agar bisa menumbuhkankan bakat dan agar bisa berkreasi sehingga kedepannya individu tersebut bisa hidup mandiri.
C. LAMPIRAN
Didi Tarsidi, Jan 2012
Dampak Psikologi Ketunanetraan pada Individu Tunanetra Dewasa
Ketunanetraan dan disabilitas pada umumnya berdampak besar terhadap kehidupan individu. Di antara banyak ranah kehidupan yang dapat terpengaruh oleh disabilitas itu adalah aspek fisik, psikologi, sosial, vokasional, ekonomi, dan rekreasi (Livneh & Cook, 2004). Banyak literatur mengindikasikan bahwa konsekuensi psikologis dan sosial dan disabilitas merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap keberfungsian individu dalam kehidupanya sehari-hari. Disabilitas mempengaruhi pengalaman pribadi dan keyakinan individu yang bersangkutan dan orang lain di sekitarnya, terutama sikap mereka terhadap individu dengan disabilitasnnya.
Reaksi individu terhadap kehilangan penglihatan yang terjadi pada masa dewasa bersifat idiosinkratik, bervariasi dari individu ke individu, baik dalam bentuk reaksinya, tahapannya maupun waktu yang dibutuhkannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Variasi tersebut mungkin dipengaruhi oleh kapasitas kognitifnya, pengalaman pendidikan dan rehabilitasnya, kualitas dukungan yang diperolehnya dari orang-orang lain yang paling signifikan, tingkat kegiatannya, dan akses ke sumber-sumber yang dibutuhkannya. Livneh (1989, 1986), Livneh & Cook (2004) mengemukakan bahwa reaksi yang umum ditunjukkan oleh individu tersebut mencakup syok, kecemasan, penolakan, depresi, kemarahan, penerimaan, dan penyesuaian.
Secara teoritik, keberhasilan penyesuaian diri terhadap disabilitas merupakan perkembangan langsung dan logis dari acceptance (Livneh & Cook, 2004). Reaksi ini, juga disebut dalam literatur sebagai reorganisasi, reintegrasi, atau reorientasi, terdiri dari beberapa komponen: 1) rekonsiliasi kognitif tentang tentang kondisi yang dialaminya, dampaknya, dan hakikatnya yang permanen, 2) penerimaan secara efektif atau internalisasi diri sebagai seoranga penyandang disabilitas, ternasuk pembaharuan atau pemulihan rasa konsep diri, pembaharuan nilai-nilai hidup, dan berlanjutnya pencarian makna baru, dan 3) aktif (secara behavioral) mengejar tujuan personal, sosial, dan/atau vokasional, termasuk berhasil menegosiasi berebagai halangan yang dijumpai selama upaya pencapaian tujuan tersebut (Antonak & Livneh, 2005). Tingkat keparahan, kecepatan kehilangan penglihatan dan hakikat disabilitasnya semuanya menentukan bagaimana individu menyesuaikan dirinya dengan kondisi tersebut (Dodds, 1993).
Waktu yang di butuhkan individu untuk dapat menerima kondisi ini sangat bervariasi. Messina (2004) mengemukakan bahwa tahapan penyesuaian terhadap kehilangan (termasuk kehilangan fungsi organ tubuh) membutuhkan waktu tiga bulan hingga tiga tahun. John Hull (1990) membutuhkan sekitar empat tahun untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan ketunanetraannya, sedangkan Rebecca Conrad (2004) membutuhkan sekitar 15 tahun.
Penelitian menunjukan bahwa individu dengan tingkat kemampuan kognitif yang lebih tinggi cenderung memiliki penyesuaian yang lebih positif terhadap ketunanetraan, dan bahwa individu yang sudah mempunyai lebih banyak pengalaman pendidikan rehabilitasi juga cenderung lebih baik dalam penyesuaiannya (Harrington & Mcdermott, 1993). Di samping itu, kualitas dukungan keuarga dan sahabat, jenis strategi coping yang dipergunakan saat ini untuk menghadapi kehilangan penglihatan, dan tingkat kegiatan individu, merupakan ranah yang paling signifikan untuk memprediksi keberhasilan adaptasi terhadap kondisi ketunanetraan (Horowitz Reinhardt, & Mclnerney, 2005).
Penelitian Kendall & Terry (Harrington & Mcdermott, 1993) mengindikasikan bahwa variasi dalam kecepatan dan kualitas proses penyesuaian individu juga ditentukan oleh sumber-sumber yang dimiliki. Akses ke sumber-sumber yang memadai akan mendorong perkembangan skema yang lebih positif, sehinggamemungkinkan individu melakukan lebih banyak upaya coping yang tepat, dan akibatnya dia akan mencapai keadaan psikososial yang baik, skema adalah kerangka mental yang mempunyai struktur internal yang stabil (Dodds, 1993). Secara spesifik, sumber-sumber yang mempengaruhi proses penyesuaian itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteen atau keterampilan sosial) dan sumber-sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau keamanan finansial (Harrington & Mcdermott, 1993).
Faktor lain yang sangat mempengaruhi terhadap proses penyesuaian individu terhadap ketunanetraannya adalah sikap masyarakat. Helen Keller (Dodds, 1993) bahkan mengamati bahwa hambatan utama bagi seorang tunanetra bukanlah ketunanetraannya itu sendiri melainkan sikap masyarakat terhadap ketunanetraan.
Sikap negatif masyarakat tersebut diakibatkan okeh persepsi yang tidak tepat mengenai ketunanetraan. Orang yang tunanetra sering digambarkan sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi purbasangaka (prejudice) dikalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan.
Sama merusaknya dengan gambaran negatif mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif yang tidak realistis si mana orang tunanetra dilukiskan sebagai “super hero”, yang dipandang sebagai orang yangmemiliki daya yang mengagumkan, baik fisik maupun mental (misalnya cerita “Si Buta dari Gua Hantu”). Akhir-akhir ini sering muncul pemberitaan orang-oranga tunanetra dengan prestasi tinggi, misalnya mereka yang bisa mengoperasikan komputer dengan baik, atau meraih gelara akademis yang prestisius, berhasil dalam karir profesionalnya. Masyarakat sering memandang pencapaian seperti sevagai “langka tetapi nyata”, sesuatu yang mengagumkan. Pemberitaan seperti ini tidak berhasil mengubah stereotype negatif tentang ketunanetraan. Karena di balik kekaguman tersirat pikiran bahwa orang tunanetra pada umumnya tidak dapat atau seharusnya demikian. Apabila masyarakat melihat contoh orang tunanetra melanggar ekspektasi negatif tersebut, itu hanya dipandang sebagai kasus kekecualian. Tidak banyak orang yang mencapai wawasan pemahaman bahwa dengan pelatihan yang tepat, bantuan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya, banyak orang tunanetra lain mungkin akan mencapai prestasi yang serupa dengan orang-orang lain. Dengan kata lain, ekspektasi masyarakat pada umumnya terhadap orang tunanetra masih tetap rendah.
Dengan stigma sosial tentang ketunanetraaan itu maka label “tunanetra” yang tiba-tiba diberikan kepada individu dapat mengakibatkan merasa kehilangan harga diri, dan harga diri terkait dengan proses penyesuaian diri (Dodds, 1993). Harga diri merupakan salah satu aspek dari “citra diri” (self image). Citra seorang yang negatif tentang ketunanetraan dapat membentuk citra diri negarif pada orang yang sudah diberi label “tunanetra”. Jadi, kehilangan harga diri lebih disebabkan oleh mekanisme perendahan citra dirinya sendiri.
Dodds (1993) mengemukakan bahwajika ketika awas seorang individu mempercayai steriotipe tentang ketunanetraan, maka bila-bila dia tiba-tiba menjadi tunanetra, dia cenderung akan menerapkan steriotipe itu pada dirinya sendiri. Terdapat bukti tentang adanya hubungan yang erat antara sikap seorang tunanetra terhadap ketunanetraan pada umumnya dengan tingkat penerimaannya terhadap ketunanetraannya sendiri (Dodds, 1991). Penerimaan seorang klien yang dapat ditingkatkan jika pandangannya tentang anak taunanetra dapat dibuat lebih positif. Dipihak lain, kita dapat mengatakan tentang ketunanetraan pun akan lebih positif.
Seorang individu dikatakan telah berhasil menyesuaikan diri secara psikologis dengan kondisi ketunanetraan apabila: 1) memiliki keyakinan, baik secara intelektual maupun emosional, bahwa dia benar-benar dapat mandiri dan swasembada; 2) memiliki keinginan untuk belajar menguasai keterampilan-keterampilan khusus (teknik-teknik alternatif) yang akan memungkinkan benar-benar mandiri dan swasembada; 3) secara intelektual dan emosiaonal mampu menghadapi sikap negative masyarakat terhadap ketunanetraannya, menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin dikatakan atau dilakukan orang terhadap dirinya akibat kesalahfahaman dam miskonsepsi mereka mengenai ketunanetraan (Omvig, 2002); dan 4) mampu tampil wajar di dalam pergaulan social.
Paparan diatas menunjukkan bahwa kehilangan penglihatan mempengaruhi individu pada berbagai level sekaligus, mencangkup level persepsi, perilaku, kognitif, dan emosi, yang menuntut individu itu untuk mengubah caranya berpersepsi, berperilaku, berpikir, dan merasakan berbagai hal. Disamping itu, sikap masyarakat terhadap ketunanetraan dan disabilitas pada umumnya sangat mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap disabilitasnya. Oleh karena itu, mengatasi kehilangan penglihatan harus dilakukan pada level persepsi, perilaku, kognitif, emosi, dan sikap social, dan ini semua saling terkait. Selanjutnya, penyeuaian dirinya dapat merupakan proses panjang, dan mungkin harus dilakukan melalui berbagai cara, tergangtung pada temperamen individu itu, pengalamannya terdahulu, dan strategi coping yang digunakannya untuk mengatasi krisis (Dodds, 1991) serta tergantung pada tungkat kesadaran masyarakat mengenai hakikat disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Tarsidi, Didi.2012.Mengatasi Masalah – Masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa.jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Utami, Sih Dwi, 2006.Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan Dalam Rangka rehabilitasi Anak Penyandang Cacat di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta. Surakarta: FISIP UNS
Sri Widarti. Rehabilitasi (pdf)
Sekian makalah tentang Rehabilitasi Psikososial Akibat Ketunanetraan Pada Usia Dewasa. Untuk Lebih Jelasnya lagi anda bisa download Makalah ini dalam bentuk pdf disini
sekian
0 komentar:
Posting Komentar