Selasa, 28 Februari 2017

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TUNANETRA

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TUNANETRA
            Keterampilan sosial pada orang normal dipelajari melalui obsevasi visual dan kegiata meniru dalam kegiatan sehari-hari. Pada anak tunanetra khususnya pada usia dini tidak banyak mendapat kesempatan untuk mengamati dan meniru secara langsung. Disamping itu mereka juga tdak mengetahui tingkah laku sosial yang dapat diterima atau tidak.
A.    Perkembangan Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial pada anak-anak jika tidak mencapai kompetensi sosial minimum hingga usia 6 tahun, kemungkinan besar akan mengalami masalah pada saat dewasa. Kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan baik dirumah atau disekolah. Adaptasi anak dengan lingkungan harus memiliki perilaku verbal dan nonverbal yang digunakan untuk merespon individu lain seperti teman, saudara, orangtua, atau gurunya.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan yang digunakan untuk menggambaran kualitas pribadi anak, meskipun dihadapkan kepada stres dan prilaku yang negatif. Perkembangan kompetensi sosial dimulai pada saat kelahiran sampai usia prasekolah. Proses interaksi sosial yang terus berkembang merupakan titik awal perkembangan bahasa dan kognitif anak.
Peran orangtua dalam mengasuh anak yang otoriter akan menciptakan lingkungan yang tertata dengan aturan yang jelas. Orang tua yang menerapkan sedikit tuntutan kepada anak cenderung tidak konsisten dalam penerapan disiplin. Orang tua engan gaya asuh tak perduli akan mengakibatkan anak untuk menolak kehadiran orangtua.
B.     ADL
Kemapuan ini diperlukan untuk membangun konsep diri dan perilaku sosial. Kegiatan sehari-hari ini dilakukan untuk kepentingan menejemen diri dan merawat diri
1.      Etika makan
Bagi tunanetra tidak mudah untuk mengenali ada makanan apasaja pada piringnya. Untuk mengetahui hal itu tunanetra haru diberitahu oleh orang awas dengan teknik tertentu, yaitu dengan sistem jam. Dlam memberikan latian kegiatan makan dapat meliputi cara duduk, posisi tubuh, cara mengambil makanan, meletakkan posisi gelas, mengatur suara mulut, cara memesan makanan direstoran, dll.
2.      Menyiapkan makanan
Belajar mengenai makanan dan cara menyiapkannya dimulai di rumah sebagai bagian kegiatan sehari-hari yang rutin. Pada anak balita yang awas mulai belajar hal ini dari bermain dengan mainan tentang alat-alat dapur dan makanan atau melalui observasi langsung sehingga kegiatan memasak atau menyiapkan makanan ini dengan mudah dapat dikenal dan dilakukan anak.
3.      Mengurus rumah
Kegiatan rutin menurus rumah sebaiknya di pelajari melalui pengajara yang di berikan oleh guru atau orang tua. Anak tunanetra sebaiknya di ajarkan untuk mengurus mainannnya seniri, buku, dan pakaian serta mekletakan barangnya sendiri pada tempat tertentu yang terartur sehingga mereka mudah untuk menemukannya kembali jika barang tersebut di perlukan. Hal ini perlu diajarkan karena anak tunanetra tidak dapat memasuki ruangan dan mengenali dengan segera barang apa yang terdapat di dalamnya sehingga tidak mudah menemukan barang yang diinginkan.
4.      Kesehatan dan merawat diri
Ketrampilan kesehatan diri, mengurus diri, dan berbusana (pakaian) sering kali tupang tindih pengertiannya, dan ketiganya dapat digolongkan dalam ketramoilan merawat diri. Yang termasuk kegiatan merawat diri yang perlu diajarkan pada anak tunanetra antara lain: penggunaan dan perawatan kamar mandi anak perludiajarkan cara menggunakan dan membersihkan toilet, menyikat gigi, memakai sabun dan sampo, dan sebagainya.
5.      Management uang dan belanja
Ketrampilan dasar yang diperlukan anak untuk mengatur uang dan belanja adalah mengenal uang bagi tunanetra diindonesia untuk mengenal janis uang perlu latihan secara khusus karena mata uang rupiah yang berupa kertas memiliki ukuran dan ketebalan yang mirip sehingga tidak mudah di kenali. Ketrampilan untuk menyimpan uang kedalam dompet bagi tunanetra memerlukan teknik khusus agar mudah di kenali, seperti misalnya uang ribuan disimpan pada dompen di saku pertama, puluhan ribu pada saku kedua, ratusan di saku ketiga. Jika saku dompet terbatas juga dapat di gunakan teknik lipatan yaitu dengan membedakan cara melipatnya.
6.      Menelepon
Ketrampilan berkomunikasi semacam ini perlu diajarkan kepada anak-anak tunanetra sedini mungkin dengan melibatkan mereka dalam bermain atau stimulasi penggunaan telepon dan meberikan kesempatan percakapan dengan telepon dengan saudara, orang tua, atau anggota keluarga yang lain. Ketrampilan lain yang penting juga bagi tuna netra adalah bagaimana mencatat nomor telepon atau mencatat hal penting sambil berbicara melalui telepon. Pada kebanyakn tunanetra melakukan kegiatan tersebut dengan mengandalkan ingatan. Untuk membantu ingatan atau menghindari kelupaan teknik-teknik tersebut perlu diajarkan dan dikembangkan.
C.     KETRAMPILAN INTERPESONAL
1.      Perilaku setereotipe
Pengulangan tingkah laku motorik seperti menggoyang goyang tubuh, meenggeleng-gelengkan kepala dan menekan mata merupakan kegiatan yang tidak dapat di terima secara sosial. Perilaku seperti ini pada umumnya di sebabkan karena ketunanetraan atau kebutaan oleh karena itu di sebut blindsm. Sehubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan ketunanetraan dan menimbulkan perilaku bllinsm harus dipertimbangkan efeknya terhadap orang yang bersangkutan dan orang lain. Perilaku blinsm ini sering kali mencemaskan orang tua maupun orang lain dan sering kali orang menganggap bahwa perilaku blinsm sebagai kelainan mental atau mengalami gangguan emosi. Dengan demiikian intervensi untuk mengurangi atau meniadakan blindsm tersebut sangan diperlukan. Sebelum melakukan intervensi beberapa faktor sebaiknya di pertimbangkan, misalnya seberapa seriuskah blindsm tersebut, kapan dan mengapa blindsm tersebut terjadi.
2.      Komunikasi nonverbal
Komunikasi manusia sangat kkompleks, sebagaimana diketahui komunikasi mencangkup berbicara, mendengar, membaca dan menulis. Komunikasi nonverbal merupakan bagian komunikasi dinamik dan interaksi. Kita berkomunikasi melalui penampilan, pakaian, ekspresi wajah, postur, dan posisi tubuh, gerakan tubuh, gerakan mata, dan lain-lain. Komunikasi non verbal telah digambarkan kedalam tuujuh aspek oleh Knapp (1978) yang meliputi:
a.       Gerakan tubuh
Gerakan tubuh mencangkup gesture, gerakan tubuh kaki, tangan, gerakan mata, ekspresi wajah dan postur. Tunanetra harus mempelajari bagaimana mengekspresikan maksudnya secara non verbal dan menyadari bahwa orang lain dapat menyampaikan signal nonverbal.
b.      Karakteristik fisik
Simbol yang termasuk dalam karakteristik fisik ini adalah bentuk tubuh, bau badan, rambut, dan warna kulit. Tuna netra tidak dapat menilai orang lain melalui penampilannya karena hilangnya penglihatan meskipun demikian mereka harus belajar untuk menyadari bahwa orang lain mungkin menilai penampilannya.
c.       Sentuhan
Yang di maksud dengan sentuhan tingkah laku ini adalah kontak fisik. Tunanetra hrus diajarkan melakukan kontak fisik seperti bagaimana bersalaman, meberi sesuatu dan lain lain, agar mereka dapat berperilaku yag tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat.
d.      Kualitas vokal
Kualitas vokal berhubungan dengan bagaimana sesuatu dikatakan bukan apa yang dikatakan. Tinggi rendahnya suara, tempo, keras dan lemahnya suara dapat memberikan signal tertentu. Karena 0tuna netra tidak dpat melihat ekspresi wajah mungkin mereka mengalamoi kesulitan untuk memahami arti dari kualitas vokal yang mungkin memiliki arti ganda ataupu berbagai konotasi yang kadang-kadang apa yang dimaksud bertentangan dengan apa yang dikatakan.
e.       Proxemics
Procemics adalah penggunaan dan persepsi terhadap seseorang dan ruang sosialnya. Demonstrasi dan  pengalama terhadap berbagai situasi termasuk perhatian terhadap ketepatan kerasnya suatu suara yang digunakan dalam berbagai situasi dan tipe percakapan harus diberikan. Istilah dalam “broadcast voice” dapat diberikan kepada tunanetra yang belum mepelajari untuk menyesuaikan volume suaranya terhadap berbagai suaranya.
f.       Artifact
Artifact yaitu manipulasi suatu obyek yang dapat dijadikan stimulus nonverbal. Parfum, make up, pakaian, wig, semua yang termasuk alat kecantikan. Tunanetra dalam penggunaannya harus mempelajari secara tepat benda-benda tersebut agar tidak mengganggu penampilannya saat berinteraksi dengan orang lain.
g.      Lingkungan
Yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah perabotan rumah tangga, dekorasi interior, lampu, aroma, warna, musik dan tempertur. Dalam mempelajari hal tersebut anak tunanetra melakukan diskusi dengan orang tua untuk menata ruangan.
D.    PENDIDIKAN SEKS
Seksualitas merupakan bagian integral manusia dan merupakan sebuah konsep holistic yang memiliki spek intelektual, mental,  emosional, sosial, dan fiisik.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan program pendidikan seks bagi tuna netra ada 4 area yaitu:
a.       Interinsik, meliputi: kepribadian, tempramen, sikap, pendidikan, kemampuan intelektual, dan adaya kecacatan yang lain.
b.      Ekstrinsik, berasal dari keluarga, status perkawinan orang tua, lingkungan, dan pengaruh etnik.
c.       Usia saat terjadinya ketunanetraan
d.      Aspek terjadinya kecacatan.

Program pendidikan seks untuk tunanetra dapat diberikan dengan ujuan untuk:
-          Meningkatkan informasi tentang seksualitas
-          Meningkatkan pengetahuan tentang reproduksi
-          Memfasilitasi sikap postif terhdap seksualitas
-          Mengurangi tindakan penyalahgunaan seks
-          Menghindari perbuatan seks pada usia muda.
Sonestian dan Pittmen (1984) menemukan kecenderugan pprogram pendidikan seks yang meliputi topik-topik sebagai berikut:
Usia
Topik
5-8 tahun
Perbedaan fisik, perubahan pada masa puber, siklus kehamilan, kehamilan dan kelahiran, akiba kelahiran pada usia muda, penyakit kelamin, komunikasi dengan lawan jenis, komunikasi dengan orang tua, nilai personal, masturbase.
9-10 tahun
Tanggungjawab orang tua, hubungan cinta kasih, komitmen, keluarga berencana, gynicologi, aborsi, homoseksual, pelecehan seks.

E.     REKREASI
Pengalaman bermain dan rekreasi meyenangkan pada masa pertumbuhan dan erkembangan memiliki dampak positive terhadap keshatan, pertumbuhan dan perkembangan intelek, kreativitas dan ekspresi diri, penyesuaian sosial dan emosi, serta kepuasan diri. Agar mendapat manfaat yang lebih banyak dari kegiatan bermain dan rekreasi, anak tunanetra harus mendapat kesempatan yang bebas dan lebih banyak. Kegiatan bermain dan rekreasi juga harus dibiasakan pada anak tuna netra agar bermain dan rekreasi menjadi kebutuhan.

AKSES MEDIA BAGI ANNAK TUNANETRA
Media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru atau lainnya) kepada penerima (peserta didik) (John D. Latuheru 1988: 14). Media adalah sarana pedidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belejar mengajar untuk lebih mempertinggi efektivitas serta efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin (Suharsimi Arikunto 1987 16). Sehingga kita dapat menyimpilkan bahwa media pembelajaran merupakan alat bantupembelajaran yang digunakan sesuai dengan tujuan dengan isi materi sebagai usaha untuk menyampaikan informasi dari sumber belajar kepada penerima informasi dengan  tujuan unuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian maka seorang pendidik dalam melakukan proses belajar mengajar harus dapat memilih antara media yang cocok dengan materi yang diberikan kepada siswanya.
            Penggunaan media pembelajaran yang tidak sesuai mengakibatkan materi tidak tersampaikan. Dalam pemilihan materi harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Seperti pada anak tunanetra pengetahuan tentang sifat-sifat ruang dari benda yang biasanya dilakukan dengan penglihatan, dapat dilakukan pula dengan rabaan anak tunanetra bisa mengetahui tentang bentuk benda, besar kecilnya bahkan bisa mengerti halus kasarnya (tekstur) dan daya lenting (elastisitas). Meskipun ada kelebihannya, anak tunanetra memiliki kekurangan. Rabaan dibatasi oleh jarak jangkauan yang pendek, hanya sepanjang tangan. Meskipun tidak tergantung pada cahaya, akibatnya benda yang jauh tidak dapat dikenal, atau benda yang terlalu besar sulit untuk dikenali.
            Persepsi warna merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki penglihatan dengan demkian penglihatan dapat mengembangkan pengertian tentang warna secara verbal misalnya, emas dapat diketahui berwarna kuning karena ia pernah mendengar dari orang lain bahwa emas berwarna kuning. Akibat yang jelas dan mudah dilihat jika seseorang kehilagan fungsi penglihatan adala ketikan ia terpaksa melakukan kegiatan berpindah-pindah dan mencari sesuatu yang hilang.
             Sebagai contoh ketika media peta timbul digunakan siswa untuk mengenal konsep ruang yang dijelaskan pada pelajaran sejarah, dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan mengalami pelajaran tersebut melalui cerita. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya konsentrasi dan ketertarika siswa. Pada saat siswa tuna netra meraba peta timbul dan menerima sensasi raba, siswa diharapkan dapat lebih memahami. Sehingga media peta timbul ini akan meningkatkan ketertarikan siswa pada pelajarannya dan dapat meninggkakan hasil belajar siswa.
            Kebanyakan anak tunanetra memerlukan media khusus agar dapat mengakses informasi seperti dalam bentuk tulisan yang dicetak besar untuk memudahkan anak dengan gangguan low vision, menggunakan huruf Braille untuk anak dengan gangguan mata buta total, atau menggunakan rekaman audio. Dengan demikian akses informasi dalam bentuk visual secara cepat tidak dapat dilakukan dan tidak dapat dielakkan bahwa rekaman audio akan mengurangi efisiensi dalam mengakses informasi.
            Keterlambatan dalam akses informasi dapat diilustrasikan dengan dunia komputer. Akses informasi melalui visual dapat disamakan dengan cara komunikasi antara komputer dengan printer di mana sejumlah informasi dapat ditransfer secara stimulan. Akses informasi melalui Braiile, rekaman audio, dan tulisan cetak besar akan tidak akan terjadi apabila dengan urutan tertrntu. Hal ini tidak saja lambat tetapi juga kurang flekibel.
            Agar dapat mengurangi masalah tersebut, anak tunanetra harus diajarkan dengan menggunakan metode yang lebih efektif untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Strategi yang digunakan setiap anak akan beragam sesuai dengan media yang dipilih. Meskipun demikian mereka mengembangkan prosedur tersendiri untuk mencari informasi yang direkam dalam tape sebelum mendengarkannya atau memperhatikan isi baku Braille untuk mencari ringkasan sebelum membaca keseluruhan.
Sumber :
Sunanto, Juang.2005. Potensi Anak Berkelainan Penglihatan.Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.

1 komentar:

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net