Minggu, 09 Oktober 2016

Dasar dan Tujuan Pendidikan Anak Cerebral Palsy

 Dasar dan Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan - Dasar Pendidikan
Pendidikan bagi anak CP sebagai bagian integral dari system pendidikan nasional memiliki dasar-dasar pertimbangan dan landasan yang kuat, dari segi keagamaan, filosofis, yuridis formal, maupun dari segi medis, pedagogis, psikologis, dan sosiologis. Dasar yang melandasi penyelenggara pendidikan anak CP:
a.    Dasar dari ajaran agama
Anak CP sebagai bagian dari warga negara Indonesia dan generasi penerus bangsa, tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai keagamaan tersebut, sehingga penyelenggara pendidikan bagi anak CP termasuk sebagian dari pengalaman nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh setiap warga negara Indonesia
b.    Dasar filosofis
Sebagai dasar filsofis dari penyelenggara pendidikan bagi anak CP di Indonesia adalah Pancasila
c.    Dasar Yuridis Formal
Dasar yuridis formal penyelenggara pendidikan anak CP:
(1)    Pasal 31 UUD 1945
(2)    UU R.I. No. 2 Tahun 1989
(3)    Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991
d.    Dasar medic
Sebagian anak CP memiliki kelainan yang dapat meluas dan/atau menimblkan kelainan baru apabila tidak memperoleh pelayanan rehabilitasi dan pendidikan, atau memperoleh perlakuan tetapi perlakuannya salah. (Swanson, Merlyn S., 1991, Eleanor Schonell, 1989)
e.    Dasar pedagogic
Setiap anak CP memiliki potensi tertentu, dan kecacatan yang disandang tidak menutup kemungkinan dikembangkan potensi, dan kreativitas sesuai dengan kondisi masing-masing anak (Hardman, et.al, 1990)
f.    Dasar psikologik
Hampir seluruh anak berkelainan memiliki masalah psikologis, deikian juga anak CP, ialah adanya konsep diri dan pemahaman diri yang salah, tidak percaya diri yang salah, tidak percaya diri, rendah diri, sifat ragu, putus asa, dan sebagainya, demikian juga fungsi kognitif dan kehidupan emosional anak CP mengalami gangguan (Cruickshank, 1976, Batshaw and Perret, 1986, dalam Daniel P. Hallahan, 1988, Strauss, Alfred A., 1987)
g.    Dasar sosiologik
Anak CP pada umumnya, tidak sedikit diantaranya yang cenderng mengisolasi diri, atau hiperaktif dan atau sukar menyesuaikan diri dengan lingkungan social. Permasalahan ini sebenarnya bukan pengaruh langsung dari kecacatan yang disandang melainkan dipengaruhi oleh faktor lingkungan social, yakni keluarga, teman bermain dan sikap masyarakat sekitarnya (Cruickshank, 1980; Hobbs et al, 1985)
2.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan anak CP adalah agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyrakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjut (PP. NO. 72/1991)
Penyelenggara pendidikan bagi anak CP memiliki dua sasaran, yaitu:
(1)    Untuk membantu mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat langsung/tidak langsung dari kecacatan ,dan
(2)    Untuk membantu menyiapkan peserta didik untuk mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya, alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

Cannor (1975 dalam Musjafak Assjari, 1995) mengemukakan sekurang kurangnya 7(tujuh) aspek yang perlu dikembangkan melalui pendidikanpada diri anak tunadaksa, yaitu:
(1)    Pengembangan intelektual dan akademik
(2)    Membantu perkembangan fisik
(3)    Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan dir anak
(4)    Mematangkan aspek social
(5)    Mematangkan moral dan spiritual
(6)    Meningkatkan ekspresi diri
(7)    Mempersiapkan masa depan anak
B. Perkembangan Layanan Pendidikan Bagi Anak CP
    Di bawah ini perkembangan layanan pendidikan anak di beberapa negara dan di negara Indonsia:
1.    Perkembangan Pendidikan Anak CP di Beberapa Negara
Perhatian menangani anak CP yang pertama kali oleh Dr. William John Little tahun 1861, seorang ahli ilmu kedokteran yang tertarik meneliti menolong anak-anak yang menunjukkan gejala spastik diplegia. Hasil kerja Dr. W.J Little kemudian diikuti ahli-ahli lain seperti Dr. Sigmund Freud (1883), Sir Willian Osler (1889), dan lain-lain.
Di America Serikat, perhatian memberi pertolongan bagi anak CP di rintis oleh Winthrop Phelps dan Earl carlson, keduanya sebagai  praktisi di bidang kedokteran yang memandag perlunya perlakuan tertentu bagi anak CP. W. Phelps lebih menekankan pada bentuk bantuan yang bersifat medis, sedangkan Earl Clarson menekankan pada aspek sosial psikologis.
Di Australia, perkembangan layanan anak CP dirintis sejak abad ke 18, tetapi secara melembaga baru dimulai tahun 1945 dengan berdirinya Pusat Pelayanan Anak CP yang menangani 120 anak berusia 2 tahun sampai 20 tahun. Pelopornya adalah Mr dan Mrs Mcleod, dan Dr.Claudia Burton sebagai direktur bidang medis yang juga dibantu oleh dua orang dokter sebagai staf.
Pusat Pelayanan Anak CP di Adelaide tersebut kemudian taahun 1946 dilengkapi sekolah untuk anak CP (Spastic School). Dari 120 anak , hanya anak-anak yang berasarkan asesmen memungknkan dapat dikembangkan kemampuannya yang menjadi siswa di sekolah CP.  Dalam perkembangannya CP dibentuk TK CP, yang dilengkapi alat bantu ambulasi bagi anak tertentu seta pertolongan okupasionl dari ahli terapi untuk perkembangan fisik dan psikis guna memperbaiki sikap tubuh dan penyesuaian sosial. Dan di Australia perkembangan pusat pelayanan anak CP cepat menyebar di kota-kota lain.
Minat memberikan perolongan anak CP di Inggris juga dimulai dari kasus-kasus CP secara individual. Henry wenton meupakan orang pertama yang memebrikan pelayanan dan pertolongan anak CP di Inggris, setelah ia mempelajari cara-cara kerja yang dilakukan oleh Phleps dan Croydon. Tahun 1948 jumlah sekolah anak CP bertambah dua sekolah, yaitu Westerlea di Edinburg dan Carlson House School di Birmingham. Ketiga sekolah anak CP tersebut sangat berperan bagi  perkembangan layanan pendidikan bagi anak CP di seluruh wilayah Inggris hingga sekarang.
2.    Perkembangan Layanan Pendidikan di Indonesia
Perkembangan layanan pendidikan anak cerebral palsy, mengalami peningkatan seiring dengan berubahnya pandangan masyarakat terhadap anak luar biasa (ALB) secara umum dan anak CP sendiri secara khusus yang terus mengalami peningkatan.

Perubahan pandangan masyarakat tersebut dapat dilihat pada perubahan sikap mereka terhadap ALB, sebagaimana diketengahkan oleh David W (dalam A.Salim, 1995) minimal dapat dibedakan dalam 6 tahap, yaitu:
1.    Tahap pembinasaan ALB
2.    Tahap pencemoohan ALB
3.    Tahap memberikan perlindungan menyeluruh
4.    Tahap pemeliharaan dan perawatan
5.    Tahap pemberian pendidikan, dan
6.    Tahap pelayanan rehabilitasi menyeluruh
Tenaga profesional yang memberikan pelayanan bagi ALB juga mengalami perubahan, di mana pada awalnya permasalahan CP hanya menarik perhatian orang-orang dari disiplin ilmu kedokteran , hingga sekarang melibatkan beberapa pihak yang memiliki keahlian berbeda seperti psikolog , ortopedagog, speech therapist, occupational therapist, social worker dan lain-lain.
Perkembangan PLB di Indonesia, yang pertama kali didirikan  bukan lembaga pendidikan untuk CP, melainkan untuk anak tuna netra. Dr.Westooff (A.Salim, 1994)  yang pertama kali merintis lembaga pendidikan bagi orang buta di Bandung tahun 1901. Kemudian disusul penirian “Folker School” pada tahun 1927 dan sekolah untuk anak bisu tuli oleh istri seorang dokter ahli THT, Ny. CM.Roelsema pada tahun 1930 di Bandung.
Pendidikan anak luar biasa di Indonesia diritis sejak tahun 1901. Sedangkan perkembangan layanan pendidikan bagi anak Cerebral Palsy (CP) tidak lepas dari keberadaan Rehabilitasi Centrum (RC) di Surakarta yang didirikan oleh Dr.Soeharso tahun 1946. Lembaga ini pada mulanya hanya perawatan dan pertolongan bagi orang dewasa yang cacat akibat perang, namun datang pula penderita cacat usia anak-anak sehingga Dr.Doeharso mendirikan Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC) yang berlokasi di Surakarta, namun siring berjalannya waktu di dirikan pula YPAC cabang di Semarang, Surabaya , Bandung, Jakarta, Ujung Pandang dan laiin-lain, kemudian berpusat di Suraakarta. Namun kini pusat YPAC dipindahan ke  Jakarta, sehingga YPAC Surakarta bestatus sebagai YPAC cabang.
Dari realita historis tersebut, dapat diketahui bahwa yang pertama kali tertarik untuk mendirikan bahkan mengembangkan layanan pendidikan bagi anak CP di Indonesia, maupun diberbagai negara berasal dari disiplin ilmu kedokteran.  Baru kemudian diikuti oleh ahli lain seperti psikologi, pekerja sosial dan PLB. Pandangan masyarakatpun semakin berubah dan kompleks, dari model kedoteran ke model ekologi.  Bahkan pada akhir abad ke-20 terjadi pengintegrasian terhadap orang-orang cacat untuk menyebarkan mereka ke masyarakat seluas-luasnya. Pada bidang pendidikan pun terjadi perubahan layanan pendidikan berintegrasi dengan anak normal dalam kelas dan sekolah biasa. Onsep baru tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti: normalisasi atau integrasi atau mainstreaming atau least restrictive enviroment dan deinstitusionalisai. (M. Amin, 1994).
Dilihat dari bentuk pelaksanaan, trend baru di bidang PLB (pendidikan integrasi) memiliki berbagai bentuk seperti:
a.    Integrasi penuh (Integrasi fungsional)
ALB belajar penuh i kelas normal. Hanya mendapat pelayanan khusus dalam aspek mengatasi jenis dan tingkat kecacatan.
b.    Integrasi sebagian (integrasi sosial)
Sebagian studi dapat di ikuti di kelas biasa sedangkan sebagian lagi di kelas tersendiri. Tetap mendapatkan pelayanan khusus dalam mengatasi jenis-jenis kecacatan.
c.    Integrasi lokasi (integrasi lingkungan fisik)
ALB berada dalam satu gedung namun berbeda kelas dengan anak-anak normal. Mereka hanya bersama ketika dalam kegitan yang bersifat umum seperti upacara, istirahat an kegiatan lain yang sejenis. (M. Amin, 1994).
Sumber lain (Sunardi, 1993) menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan integrasi, anak luar  biasa dapat memiiki alternatif untuk ditempatkan pada:
a.    Sekolah dan kelas reguler tanpa bimbingan khusus
b.    Kelas reguler dengan bimbingan khusus di luar (di ruang lain)
c.    Kelas reguler sebagian hari dan sebagian hari di kelas sumber
d.    Kelas khusus sebagian hai dan sebagaian hari di kelas reguler
e.    Kelas khusus sepanjang hari
f.    Sekolah khusus sepanjang hari
g.    Pelayanan pendidikan di tempat tinggal/rumah sakit/institusi lain.
Faktor-faktor yang mendukung terlaksananya sistem integrasi dalam PLB menurut M. Amin (1994) antara lain:
a.    Perbedaan antara ALB dan anak normal hanya secara kuantitatif.
Pelayanan PLB tidak harus selalu terpisah.
b.    Perkembangan metodologi dan teknologi pendidikan telah memungkinkan diversivikasi pengajaran dalam satu kelas.
c.    Perkembangan sistem integrasi dalam PLB akan mengatasi hamatan sosial, ekonomi, dan geografis untuk tercapainya pemerataan pendidikan bagi ALB.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pelaksanaan pendidikan integrasi dapat berjalan dengan baik, ialah:
a.    Program pendidikan integrasi
Penempatan anak di skolah biasa dengan adanya program khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondidi anak.
b.    Meluruskan beberapa onsep yang salah tentang beberapa pengertian dalam penyelenggaraan PLB , seperti normalisasi, bukan berarti membuat anak penyandang cacat menjadi normal, melainkan memperlakukan mereka sama dengan anak normal pada umumnya.
c.    Pempersiapkan agar integrasi dapat diterima dengan positif oleh kedua belah pihak, ALB dan orang tua serta anak normal pada umumnya.
Kecendrungan baru pada sekolah-ekolah integrasi tidak membuat sekolah khusus di tiadakan (TKLB,SDLB,SMPLB,SMALB) masih dibutuhan bagi anak dengan kondisi yang tidak dapat diintegrasikan.

C. Pertimbangan Penempatan Pendidikan
1.    Umumnya orangtua menyekolahkan CP disekolah biasa. Keuntungan:
a)    Tempat sekolah yang dekat dengan tempat tinggal,, sehingga   orangtua tidak perlu mengantarkan anak ke sekolah.
b)    Biaya sekolah murah.
c)    Tidak adanya perasaan malu dengan lingkungan sosial (tetangga) karena anaknya dapat sekolah disekolah normal.
d)    Anak dapatbergaul dengan anak normal sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang optimal
Keinginan orang tua tersebut, jika tidak didukung oleh tingkat kemampuan intelektual anak yang memadai, hakekatnya akan membunuh aktualisasi potensi-potensi anak yang bersangkutan (Eleanor Schonell 1989).
Secara umum (Viola E. Cardwell; Eleanor Schonell, 1989; Bill R. Geaarheart & Mel W. Weishahn, 1976, Soeharso, 1989) penempatan dan pendidikan anak CP yang memliki intelegensi normal, super normal dan dull normal (IQ 70> ) sbb:
a)    Apabila ia cacat fisiknya ringan, maka ia dapat mengikuti pendidikan sekolah normal (reguler school)
b)    Apabila ia cacat fisik sedang, maka ia dapat mengikuti pendidikan sekolah khusus anak CP atau khusus anak cacat tubuh. Di Indonesia, sekolah disebut SLB D/ SLB D1.
c)    Apabila ia cacat fisiknya berat maka tempat sekolah sebaiknya dirumah (home teaching).
IQ 40-69, penempatan pendidikan sbb:
a)    Apabila cacat fisik ringan, maka ia dapat atau pusat-pusat ketrampilan, misal di SLB D / SLB C atau di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa yang khusus melatih ketrampilan anak tuna daksa (PRSBD).
b)    Apabila cacat fisiknya sedang, maka ia ditempatkan dipendidikan dipusat- pusat latihan kerja khusus.
c)    Apabila cacat fisik berat, maka lebih baik home training.
IQ 40< yang cacat fisiknya ringan, sedang dan berat tidak dpt dilakukan pedidikan. Sebaiknya ditampung di pusat-pusat perawatan khusus.
2.    Kemampuan mengadakan kemampuan emosi
Anak CP (cacat lainnya) biasanya memperoleh perlakuan kasih sayang dan perlindungan dari orang tua yang melebihi kasih sayang untuk anak normal. Akibatnya perkembangan yang terbentuk biasanya cenerung bergantung pada oranglain. Perkemangan sosial terlambat atau sukar mengadakan adaptasi denga  teman-teman sebaya (Bleck, E.E. Negel, 1982; Samuel A. Kirk, James J. Gallagher 1989).
3.    Lokasi tempat tinggal dengan sekolah
Sekolah yang memiliki asrama, pertimbangan selanjutnya adalah dalam hal biaya asrama. Sebaliknya yang tidak punya asrama maka perlu dipertimbangkan apakah guru/orang tua menyediakan transportasi anak ke/dari sekolah atau tidak, apabila tersedia selanjutnya bagaimana kemampuan anak memanfaatkan transportasi tersebut (F. Eleanor Sconell, 1989).
D. Sistem Pendidikan
Di Indonesia (dalam penjelasan UU No.2/1989) dikenal ada dua jalur pendidikan, yaitu jalur pendidkan sekolah dan diluar sekolah. Pendidikan keluarga adalah pendidikan jalur luar sekolah yang diselenggarakan dalam dan oleh keluarga.
1.    Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga merupakan salah satu alternatif tempat berlangsungnya pendidikan bagi anak CP. Pelaksanaan pendidikan keluarga dapat berlangsung serempak bersama-sama dengan pendidikan luar sekolah maupun pendidikan formal.
Dalam pendidikan keluarga setidaknya ada 12 teknk yang dapat dilakukan oleh orang tua, yaitu:
a.    Memberi contoh dan menyuruh anak CP untuk mencontohnya, baik dalam tingkah laku maupun dongeng-mendongeng.
b.    Membiasakan anak berbuat dan bersikap baik, ini bertujuan untuk membentuk kepribadian baik anak.
c.    Memberi dorongan dan motivasi, rangsangan, penjelasan tertentu pada anak agar timbul minat, semngat, kemauan, dan usaha-usaha positif lainnya.
d.    Memberi penjelasan tertentu untuk memperluas pengalaman, memenuhi kebutuhan dan hasrat keingin tahuan anak.
e.    Menyuruh dan melarang melakukan sesuatu.
f.    Mendiskusikan dengan anak walaupun masalahnya bagi orang tua sangat sederhana.
g.    Memberi tugas dan tanggung jawab walaupun tugas hanya membaca doa sebelum tidur.
h.    Memberi bimbingan.
i.    Mengajak melakukan sesuatu walaupun kecacatannya menghambat, akan tetapi orang tua memulai dari yang ringan dan dimampui anak.
j.    Memberi kesempatan anak untuk mencoba sesuatu.
k.    Menciptakan situasi yang baik, meskipun orang tua mengalami maslah seklaipun.
l.    Mengadakan pengawasan dan pengecekan atas tugas yang menjadi tangung jawab anak.
Musjafak Assajari (1995) menyatakan bahwa materi pendidikan anak CP dirumah terutama (1) melatih, mengawasi, dan mengoreksi gerakan-gerakan anak,  seperti gerakan-gerakan pada posisi terlentang, tengkurap, miring, duduk dsb , (2) membimbing anak dalam ADL.
Tetapi, pendidikan bagi anak CP yang dikemukakan oleh Musyafak Assajari ini masih terlalu terbatas, Pendidikan keluarga bagi anak CP, paling tidak memilik materi tentang:
a.    Pendidikan agama dan budi pekerti, antara lain :
1.    Memperkenalkan agama yang dianut oleh orang tua.
2.    Mengajak anak mengucapkan do’a-do’a.
3.    Mengajak anak melakukan ibadah
b.    Pendidikan jasmani, antara lain:
1.    Latihan penguatan otot
2.    Latihan memfungsikan gerak sendi
3.    Melatih berbicara lisan
4.    Memperbaiki posisi/ sikap tubuh ynag kurang benar.
c.    Pendidikan mengembangkan daya cipta, antara lain:
1.    penginderaan : mempertajam indera-indera lain
2.    ingatan :membisakan anka mendengarkan dengan penuh kesadaran agar anak mudah mengingatnya.
3.    Berfikir :menanamkan logika agar anak dapat menarik kesimpulan



d.    Pendidikan sikap mental, baik yang dilandasi oleh pemikiran yang rasional maupun yang didasari oleh emosional yang konstruktif.
e.    Pendidikan ketrampilan.
Lingkungan keluarga sangat dianjurkan untuk melakukan pelatihan dan pendidikan anak CP terutama yang berkaitan dengan ADL

2.    Pendidikan Luar Sekolah
Dalam rangka wajib belajar 9 tahun, kiranya jalur pendidikan sekolah anak berkelainan perlu segera digiatkan mengingat hal-hal berikut :
a.    Jalur pendidikan sekolah bagi anak CP belum    menyebar ke berbagai daerah tingkat dua.
b.    Pendidikan sekolah hanya merekrut anak-anak cacat usia sekolah, sedangkan anak usia pra sekolah dan diatas usia sekolah masih sangat minim.
c.    Banyak anak yang memngikuti pendidikan di sekolah SD tinggal kelas dan putus sekolah.
d.    Anak berkebutuhan khusus ini tidak mampu sekolah karena usia melebihi usia sekolah, mereka semua perlu ditampung di jalur pendidikan diluar sekolah.
Pendidikan luar sekolah bukan banyak memiliki keterikatan, hal ini membuat jalur pedidikan luar sekolah memiliki kegunaan dan daya-suai yang luas.
Anak CP yang dapat ditampung dalam jalur pendidikan luar sekolah, antara lain:
a.    Belum pernah sekolah sama sekali dari berbagai jenjang pendidikan yang ada.
b.    Pernah sekolah tapi tidak selesai/ drop out.
c.    Telah selesai mengikuti jenjang pendidikan tertentu, tetapi belum dapat mandiri.

Idealnya pendidikan luar sekolah bagi anak CP mencakup materi sebagai berikut :
a.    Pengetahuan dasar untuk menjadikan anak terbebas dari buta aksara, angka dan pengetahuan dasar.
b.    Pendidikan kesejahteraan keluarga seperti ilmu kesehatan ilmu gizi, kepandaian rumah tangga dan mengasuh anak, pemeliharaan perumahan, dsb pasti tentu pendidikan disesuaikan usia anak.
c.    Pendidikan kemasyarakatan, seperti pembangunan ingkungan sekitar, kegotoroyongan dll
d.    Kegiatan yang mengandung makna teraputik dengan sistem rehablitasi sumber daya masyarakat.
e.    Pendidikan kejuruan seperti kerajinan, pertukaran, komputer dll.

3.    Pendidikan Sekolah
Dengan diberlakukannya undang undang RI tentang sistem pendidikan nasional dan peraturan pemerintahh tentang pendidikan luar biasa, termasuk pendidikan anak CP perlu disesuaikan dengan UU dan atau PP..
Dengan berdasarkan undang-undang dan PP tersebut, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan kurikulum baru PLB 1994 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya dan sekaligus menyesuaikan dengan tuntutan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Kurikulum PLB 1994 terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SLTPLB, SMLB (SK Mendikbud No. 0126/1994). Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa pendidikan sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (disamping pendidikan keluarga dan non-formal) menjadi salah satu alternatif jalur pendidikan anak serebral palsy.



E. Pola Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Menurut Kurikulum PLB 1994
1. Pendidikan bagi anak CP dapat diselenggarakan bersama dengan jenis kelainan lain. Baik untuk satuan pendidikan tingkat TKLB,SDLB,SLTPLB , maupun tingkat SMPLB, tergantung kesesuaian sengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
2. Pendidikan anak CP menurut satuan  pendidikan tertentu
Pola ini hanya terbatas untuk satuan pendidikan tertentu misalnya hanya satuan pendidikan TKLB saja atau SDLB saja.
3. Pendidikan anak CP pada lembaga pendidikan yang khusus mendidik anak CP
Bercirikan hanya sebagai lembaga pendidikan khusus anak CP dengan menyediakan beberapa satuan pendidikan yang ada, misalnya TKLB-CP , SDLB_CP
4. Pendidikan anak CP pada lembaga pendidikan khusus yang hanya menampung anak CP menurut satuan pendidikan tertentu saja.
Lembaga tersebut hanya mendidik anak CP ( tidak ada tipe kelainan lain) yang berada pada satu jenjang pendidikan saja., missal TKLB-CP saja tidak ada SDLB-CP dalam lembaga yang sama.
5.Bagi anak CP yang memiliki kecerdasan normal/supernormal dengan tingkat kecacatan fisik yang ringan.
Dapat di didik bersama dengan anak normal melalui pendidikan terpadu. Hal ini sejalan dengan pasal 18 ayat 1 angka 5 PP NO. 72 tahun 1991




F.    Pendidikan Anak CP Menurut Kurikulum PLB 1994
Perangkat kurikulum PLB 1994 terdiri atas:
1.    Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum yang memuat :
a.    Landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum.
b.    Tujuan jenjang dan satuan pelajaran.
c.    Program pengajaran yang mencakup isi program pengajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran pengelompokan mata pelajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran.
d.    Pelaksana pengajaran.
e.    Pelaksana penilaian.
f.    Pengembangan kurikulum sebagai proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan, di tingkat nasional dan tingkat daerah.
2.    Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat :
a.    Pengertian dan fungsi mata pelajaran.
b.    Tujuan pengajaran dan ruang lingkup bahan kajian/ pelajaran.
c.    Pokok-pokok bahasan.
d.    Konsep/ tema dan uraian tentang keluasan dan kedalamannya.
e.    Rambu-rambu cara penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar setiap mata pelajaran.
f.    Alokasi waktu yang disediakan.
g.    Uraian/ cara pembelajaran yang disediakan.
3.    Pedoman Pelaksanaan Kurikulum yang terdiri atas:
a.    Pedoman pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
b.    Pedoman Rehabilitasi.
c.    Pedoman Pelaksanaan Bimbingan.
d.    Pedoman administrasi sekolah.
e.    Pedoman Penilaian kegiatan dan hasil belajar.



Beberapa hal yang berkaitan dengan Kurikulum PLB 1994, antara lain:
1.    Peserta Didik
Pada pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa dinyatakan jenis kelainan peserta didik terdiri atas kelainan fisik dan/ atau mental dan/ atau kelainan perilaku.
2.    Satuan Pendidikan dan Lama Pendidikan
a.    TKLB : selama tiga tahun, usia minimal tiga tahun.
b.    SDLB : selama enam tahun, usia minimal enam tahun.
c.    SLTPLB : selama tiga tahun, harus lulus SDLB dulu.
d.    SMLB : selama tiga tahun, harus lulus SLTPLB dulu.
3.    Tujuan Pendidikan pada satuan PLB
a.    TKLB : membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan dasar yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya sesuai dengan tingkat kelainan yang disandangnya dan tingkat perkembangannya, serta memperoleh kesiapan fisik, mental, perilaku dan sosial untuk mengikuti pendidikan pada SDLB.
b.    SDLB : memberikan kemampuan dasar, pengetahuan dasar, keterampilan dasar, dan sikap dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan kelainan yang disandang dan tingkat perkembangan serta mempersiapkan pendidikan tingkat SLTPLB.
c.    SLTPLB : memberikan kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dasar, sikap dan keterampilan dasar, dan menyiapkan siswa sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara sesuai dengan kelainan yang disandang dan tingkat perkembangan, serta mempersiapkan pendidikan tingkat SMLB.
d.    SMLB : memberikan bekal kemampuan yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh di SLTPLB yang bermanfaat bagi siswa untuk hidup mandiri sesuai dengan kelainan yang disandang dan tingkat perkembangan anak.
4.    Program Pengajaran/ isi Kurikulum
a.    TKLB
1.)    Program kemampuan dasar, meliputi : moral Pancasila, agama, disiplin, perasaan, emosi dan kemampuan bermasyarakat, serta pengembangan kemampuan berbahasa, daya piker, daya cipta, keterampilan dan jasmani.
2.)    Program khusus, untuk PLB CP adalah bina diri dan bina gerak. Sedangkan untuk yang berkelainan ganda berupa gabungan dua atau lebih program khusus yang disesuaikan dengan jenis kelainan.
b.    SDLB
1.)    Program umum, pelajaran pada umumnya.
2.)    Program khusus, bina diri dan bina gerak untuk anak CP. Sedangkan untuk yang berkelainan ganda berupa gabungan dua atau lebih program khusus yang disesuaikan dengan jenis kelainan.
3.)    Program muatan lokal, bahasa daerah atau kesenian. Ditetapkan oleh kantor wilayah Depdikbud setempat.
c.    SLTPLB
1.)    Program umum, pelajaran pada umumnya.
2.)    Program khusus, bina diri dan bina gerak untuk anak CP. Sedangkan untuk yang berkelainan ganda berupa gabungan dua atau lebih program khusus yang disesuaikan dengan jenis kelainan.
3.)    Program muatan lokal, bahasa daerah atau kesenian. Ditetapkan oleh kantor wilayah Depdikbud setempat.
d.    SMLB
1.)    Program umum, pelajaran pada umumnya.
2.)    Program pilihan, berupa paket keterampilan rekayasa, pertanian, usaha dan perkantoran, kerumahtanggaan dan kesenian, yang dapat dipilih dan ditekuni agar dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.



5.    Susunan Program Pengajaran menurut Kep. Mendikbud. No. 0126/U/1994
a.    TKLB, berlangsung pada hari Senin sampai Sabtu, lama kegiatan belajar 3 jam sehari, satu jam kegiatan selama 30 menit. Berisi program kemampuan dasar dan program khusus.
b.    SDLB, setiap minggu minimal 30 sampai 42 jam pelajaran, kelas I dan II setiap jam pelajaran 30 menit, sedang kelas III sampai VI setiap jam pelajaran 40 menit. Terdiri atas program umum, program khusus dan program muatan lokal, dengan kurikulum SD yang disesuaikan dengan keterbatasan kemampuan belajar siswa.
c.    SLTPLB, minimal 42 jam pelajaran tiap minggu, lama belajar 45 menit. Berupa program umum, program khusus, program muatan lokal dan program pilihan, jatah waktu untuk program pilihan minimal 52 % dari keseluruhan program yang ada.
d.    SMLB, minimal 42 jam pelajaran tiap minggu, lama belajar 45 menit. Berupa program umum dan program pilihan, dengan jatah waktu untuk program umum minimal 38%.
6.    Waktu Belajar
Semua satuan pendidikan yang ada dalam kurikulum PLB 1994 menerapkan sistem catur wulan. Yang membagi waktu belajar jadi 3 bagian waktu, masing-masing disebut catur wulan.
7.    Sistem Guru
SDLB menggunakan sistem guru kelas, kecuali mata pelajaran agama dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Sedangkan untuk Bahasa inggris, bisa diampu oleh guru kelas yang punya kemampuan berbahasa inggris atau oleh guru yang disediakan oleh daerah/ sekolah.
SLTPLB dan SMLB menggunakan sistem guru mata pelajaran.
8.    Perencanaan Kegiatan Belajar Mengajar
Perencanaan kegiatan belajar mengajar dapat meliputi:
a.    Perencanaan tahunan
b.    Perencanaan catur wulan
c.    Perencanaan yang dituangkan dalam bentuk persiapan mengajar untuk beberapa kali pertemuan
Rencana kegiatan belajar mengajar harus mengandung komponen berikut:
a.    Komponen Tujuan Pembelajaran
Merupakan kemampuan yang dirancang untuk dikuasai oleh peserta didik. Tujuan pembelajaran dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru hanyalah Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Sedangkan tujuan instruksional umum dapat diambil pada buku Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).
b.    Komponen Materi
Rambu-rambu untuk menyusun komponen materi:
1.)    Materi yang disajikan harus mendukung tercapainya tujuan khusus yang telah ditetapkan.
2.)    Materi yang disajikan harus berada dalam batas-batas kemampuan peserta didik untuk mempelajarinya.
3.)    Materi yang disajikan haruslah bermanfaat bagi kehidupan anak CP.
4.)    Materi harus disusun dari yang muudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang komplek, dan dari yang kongkret ke yang abstrak.
c.    Komponen Metode dan Strategi
Menurut George L. Groyer (1973), strategi pembelajaran merupakan kaidah-kaidah perspektif untuk merancang peristiwa-peristiwa pembelajaran yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus yang telah ditetapkan.
Menurut A.J. Romiszowski (1983, dalam Moelyono, 1994/1995), macam-macam strategi pembelajaran dapat merupakan suatu kontinum dari discovery-expositive tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.)    Penemuan tanpa dirancang (inpromp to discovery or unplanned learning)
Kebebasan siswa untuk menemukan apa yang diinginkan, bisa dilakukan di perpustakaan.
2.)    Penemuan bebas (free exploratory discovery)
Tujuan belajar telah ditetapkan dahulu lalu anak dibebaskan untuk memiiliih sumber belajar.
3.)    Penemuan terbimbing (guided discovery)
Tujuan belajar sudah ditentukan, lalu siswa dibimbing untuk menggunakan metode yang relevan untukmencapai tujuan belajar.
4.)    Penemuan terprogram adaptif (adaptively programmed discovery)
Bimbingan dan koreksi umpan balik diberikan dan pembelajaran didasarkan atas individualitas siswa.
5.)    Penemuan terprogram intringsik (intrinsically programmed discovery)
6.)    Perkuliahan reflektif atau penjelasan induktif (inductive lecturing or inductive exposition)
Guru menjelaskan proses penemuan melalui ceramah.
7.)    Penjelasan deduktif (deductive expodition)
Guru memberi ceramah secara deduktif.
8.)    Latihan (drill and practice)
Guru mendemonstrasikan tentang apa yang harus dilakukan siswa dan siswa diberi kesempatan untuk latihan.

Pembelajaran Individual
Menurut Sunardi (1993, dalam JRR No. 5 Tahun 2 April – juni 1993) langkah-langkah utama dalam merancang suatu PPI atau IEP meliputi :
1.    Membentuk tim PPI dan TIM Penilai Program Pendidikan Individual (TP31).
2.    Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa.
3.    Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang (long range or annual goals) dan sasaran-sasaran jangka pendek (short-term objectives).
4.    Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan.
5.    Menentukan metode evaluasi kemajuan.
d.    Komponen Penilaian
Rencana untuk menilai tingkat ketercapaian tujuan oleh siswa.
9.    Sistem Pengajaran
a.    Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan sistem klasikal dengan pertimbangan bakat, minat, kemampuan dan kelainan peserta didik.
b.    Mengutamakan pengembangan kemampuan psikhis dan fisik serta penyesuaian sosial peserta didik secara utuh.
c.    Memanfaatkan sarana penunjang pembelajaran.
d.    Pemberian pembelajaran tambahan.
10.    Bimbingan dan Rehabilitasi
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengatasi masalah yang disebabkan oleh kelainan yang disandang, mengenai lingkungan dan merencanakan masa depan. (Kurikulum PLB, 1994).
Rehabilitasi adalah upaya bantuan medik, sosial dan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti pendidikan.
11.    Penilaian
a.    Penilaian kemajuan belajar.
Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik untuk keperluan perbaikan dan peningkatan kegiatan pembelajaran.
b.    Penilaian hasil belajar.
Untuk mengetahui hasil belajar siswa. Penilaian secara nasional untuk mengetahui mutu pendidikan luar biasa.

sumber:
Assjari, Musjafak. (1995). Ortopedagogik Anak Tuna Daksa, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net