Sabtu, 01 Oktober 2016

Latar Belakang dan Arti Pentingnya Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy

Latar Belakang dan Arti Pentingnya Pendidikan bagi Anak Celebral Palsy- Banyak generasi penerus yang ada di masyarakat kurang beruntung, karena memiliki kelainan, baik dari segi fisik maupun mental serta perilaku. Salah satunya adalah Anak dengan gangguan motorik (ADGM). Anak dengan gangguan motorik sendiri dibedakan atas kelompok I kelainan fungsi dan jenis sebab yang melatarbelakanginya, yaitu:
1.    Anak dengan gangguan motorik yang kecacatannya berhubungan dengan kerusakan sistem persarafan, terdiri dari anak yang mengalami kerusakan sistem persarafan di otak (Celebral Palsy) dan anak yang mengalami kerusakan sistem persarafan pada sumsum tulang belakang (medulla spinalis) atau anak poliomielitis.
2.    Anak dengan gangguan motorik yang kecacatannya berhubungan dengan kerusakan/kelainan pada alat gerak tubuh, yaitu mereka yang mengalami kelainan bentuk tulang, sendi, dan otot serta gabungan dari fungsi tulang, sendi, dan otot.
Anak Cerebral Palsy (CP) sebagai bagian kecil dari anak tuna daksa, tidak luput dari perhatian dan jangkauan layanan pendidikan. Ditinjau dari keberadaannya, anak - anak yang menyandang CP ini akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia. Menelantarkan pendidikan anak CP dan anak luar biasa atau dengan meniadakan keberadaan mereka ditengah – tengah masyarakat adalah tidak manusiawi (Moh. Amin, 1994).
Meskipun secara lahiriyah anak - anak CP mengalami cacat jasmani, mereka juga memiliki potensi – potensi bawaan sebagai mana anak normal. Untuk itu jalan yang terbaik adalah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaktualisasikan potensi masing – masing anak seoptimal mungkin dalam berbagai aktivitas. Salah satu peluangnya adalah melalui pendidikan. Dengan harapan setelah selesai melewati proses pendidikan mereka dapat hidup mandiri dan tidak membebani orang lain.
Umumnya masyarakat tidak melihat bahwa anak CP masih mempunyai potensi - potensi yang dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Meskipun ada perubahan dan perkembangan dalam sikap dan perlakuan masyarakat terhadap mereka yang berkelainan ini, namun pandangan negative terhadap mereka yang berkelainan sampai sekarang masih ada. Setiap anak perlu proses tumbuh dan berkembang termasuk anak CP. Proses tumbuh kembang ini bukan merupakan proses yang mudah dan sederhana, melainkan proses yang rumit. Berkembang ialah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi dalam pola yang teratur sebagai hasil dari proses diferensiasi sel dan jaringan tubuh, organ dan sistemnya yang dengan organisasi sedemikian rupa sehingga masing – masing dapat berfungsi.
Cakupan komponen perkembangan anak, meliputi perkembangan motoric kasar, motoric halus, kemampuan komunikasi aktif dan pasif, perkembangan kecerdasan, kemampuan menolong diri sendiri dan perkembangan tingkah laku sosial (Narendra, 1991). Anak CP dalam proses perkembangan dan peningkatan kemampuan tidak dapat berjalan dan berlangsung secara sendiri, melainkan membutuhkan bantuan orang lain. Pihak yang dapat memningkatkan kemampuan anak CP diantaranya adalah guru PLB, tenaga terapis dan para professional lain yang tergabung dalam tim rehabilitasi yang ada di sekolah/ satuan pendidikan luar biasa.
Penanganan pendidikan bagi anak CP di Indonesia sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, dan pentingnya pelayanan pendidikan bagi anak CP di negeri tercinta ini semakin jelas sejak dicanangkannya program Wajib Belajar Sekolah Dasar oleh Presiden Soeharto tanggal 2 Mei 1984 yang wajib diikuti oleh semua anak Indonesiausia 7-12 tahun, termasuk anak Cp. Andanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemrintah Nomor 28/1990 tentang Pendidikan Dasar yang menetapkan prgram Wajib belajar enidikan Dasar 9 tahun, dan Peraturan Pemerintah RI No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, maka penyelenggaraan pendidikan dan layanan pendidikan bagi anak CP di Indonesia memang harus dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan.
Arah dari penyelenggaraan pendidikan bagi anak CP, pada hakekatnya adalah sejalan dengan arah dan tujuan dari Pendidikan Luar Biasa, yaitu agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengeahuan, dan keterampilan sebaagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (PP No. 72/1991)
Pendidikan anak CP, pada hakekatnya akan memperoleh keuntungan ganda, dianttaranya:
1.    Mengatasi problem-problem pribadi, keluarga dan masyarakat.
2.    Diperloehnya modal dasar berupa sumber daya manusia untuk kepentingan pembangunan nasional.

1.    Nilai Pendidikan untuk Mengatasi Problem Pribadi
Dampak primer dan sekunder dari kecacatan anak CP dapat dikurangi/dihilangkan melalui kegiatan-kegiatan tertentu selama proses pendidikan. Misalnya:
(a)    Problem jasmani
Dampak primer dari kecacatan organ geraknya, anak CP mengalami kesulitan dalam mengadakan ambulasi (gerakan pindah tempat) atau dalam hal kegiatan-kegitan tertentu untuk memenuhi kebutuhaan hidup sehari-hari (activity of daily livung/ADL). Melalui latihan-latihan yang terprogramkan dalam bidang bidang terapi fisik (physio therapy) dan terapi Okupasi (occupational theray) serta kegiatan lain yang memiliki makna teraputik (penyembuhan) yang dilakukan oleh guru di sekolah/dikelas, maka problem pribadi yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan gerak dapat dikurangi sekaligus kemandirian anak dapat ditingkatkan.
(b)    Problem kejiwaan
Problem kejiwaan anak  CP merupakan dampak sekunder dari kecacatan fisik. Diantara macam problem kejiwaan anak CP adalah (Daniel P. Hallahan,1988,p.364; Viola E Cardwell,pp.339-362) retardasi mental, perasaan rendah diri, mudah tersinggung, hiperaktif/sulitdalam pemusatan perhatian, ragu -ragu/ sulit mengambil keputusan. Anak - anak CP dengan berbagai macam problem kejiwaan tersebut, selama proses pendidikan juga diupayakan pengatasannya melalui program rehabilitasi social psikologis. Sehingga diharapkan permasalahan yang dialami anak dapat dikurangi.
(c)    Problem pendidikan
Tempat tinggal anak CP tersebar di daerah - daerah yang umumnya di pedesaan, dengan populasi yang sangat kecil. Di samping itu keberadaan sekolah khusus untuk anak CP (SLB misalnya) umumnya berada diperkotaan. Sementara sekolah - sekolah regular (satuan pendidikan untuk anak normal) belum banyak yang siap untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak CP. Baik karena keterbatasan kemampuan guru  maupun sarana dan prasarana sekolah. Ditambah lagi dengan adanya sebagian orang tua yang belum menyadari arti pentinganya pendidikan bagi anak CP (Munawir Yusuf, A.Salim Ch., 1994) menambahkan kompleksnya permasalahan pendidikan anak CP. Melalui kegiatan pendidikan dan program kerja sama sekolah dengan berbagai instansi terkait dengan penyebarluasan informasi pendidikan anak CP, serta upaya pemerintah dalam peningkatan kemampuan guru dalam hal rehabilitasi dan pendidikan, diharapkan dapat mengurangi masalah pendidikan anak CP.
(d)    Problem social ekonomi
Sebagian besar anak CP hidup di lingkungan keluarga yang kurang mampu (Munawir Yusuf, A. SalimCh, 1994) terutama akibat dari rendahnya pendapatan karena rendahnya produksivitas. Rendahnya produktivitas ini dikarenakan tidak dimilikinya asset produksi serta kelemahan secara fisik maupun mental. Bagi CP dan tunadaksa lainnya, hal yang demikian adalah akibat yang beruntung dari adanya gangguan atau cacat jasmani maupun mental, sehingga tidak memiliki ketrampilan kerja. Akibat yang lebih jauh adalah adanya ketidakmampuan di dalam melaksanakan fungsi social.
Dengan memberikan kesempatan bagi anak CP untuk mengikuti pendidikan, diharapkan mutu hidup mereka secara ekonomis dapat di tingkatkan. Hal ini oleh karena mereka juga dibekali ketrampilan khusus tertentu, sehingga nantinya dapat bekerja dan menghasilkan pendapatan (income) yang dapat meningkatkan kehidupannya secara kualitatif sertauntuk melaksanaka fungsi social secara wajar.

2.    Nilai Pendidikan Untuk Mengatasi Problem Keluarga
Orang tua yang memiliki anggota keluarga yang cacat pada umumnya memiliki perasaan bersalah, berdosa, dan sebagainya. Manifestasi dari hal tersebut, adalah bahwatidak sedikit dari orang tua yang menutupi keberadaan anaknya, memberikan perlindungan secara berlebihan, memanjakan, dan selalu membantu, menuruti dan memenuhi permintaan anak. Akibatnya anak kurang memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan memupuk kemampuannya sendiri, selalu bergantung pada orang lain dalamkehidupannya.
Kondisikeluarga yang demikian, jelas menggambarkan betapa sibuk dan repotnya orang tua dan anggota keluarga yang lain. Dengan memberikan pendidikan kepada anak CP, dan pembinaan orang tua wali siswa dalam hal memberikan perlakuan kepada anak. Proses belajar orang tua ini berlangsung terus menerus, yang akhirnya dapat merubah sikap dan perilaku orang tua yang salah ke perilaku yang wajar dalam setiap merespon perilaku anaknya yang mengalami CP. Gagasan ini berkenaan dengan teori lewin (Unfreezing-to-refreezing Theory dalamMico& Helen Roos, 1980) yang secara singkat menggambarkan proses perubahan perilaku salah ke perilaku yang benar melalui kegiatan belajar berkelanjutan.
3.    Nilai Pendidikan Untuk Mengatasi Problem Masyarakat
Kehadiran warga masyarakat yang cacat (anak CP), jika tidak dididik dan disekolahkan, maka masyarakat akan memperoleh kerugian ganda, pertama : kehilangan salah satu anggotanya yang produktif, dan kedua : bertambahnya anggota masyarakat yang tidak mandiri. Hal ini berarti menambah beban berat warga masyarakat. Dengan demikian setiap warga masyarakat yang cacat harus dididik dan dilatihkan ketrampilan tertentu agar dapat hidup mandiri.
4.    Melalui Pendidikan Anak CP Dapat Menambah Sumberdaya Manusia Untuk Kepentingan Pembangunan Nasional
Menurut data yang ada di Direktorat Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial (SusiloSupena, 1992), besarnya populasi penyandang cacat di Indonesia sebesar 3,11% dari seluruh penduduk di Indonesia (Data Sensus Penduduk di Indonesia tahun 1988 sebesar 177,580 juta orang). Sedang jumlah penyandang tunadaksa sebesar 27,3% dari seluruh populasi penyandang cacat, atau sebanyak 5.522.738 orang. Dari populasi penyandang tunadaksa tersebut sebagian adalah penyandang Cerebral Palsy.
Melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang diberikan kepada mereka, maka akan dapat diwujudkan sumberdaya manusia yang sangat bermanfaat bagi kepentingan pembangunan nasional. Sebaliknya, dari sejumlah penyandang tunadaksa (termasuk di dalamnya penyandang CP) tersebut apabila tidak berkesempatan memperoleh pendidikan dan latihan kerja, maka mereka dapat dipastikan akan berada dalam kehidupan yang konsumtif, bergantung pada orang lain dan menjadi beban pembangunan nasional (Susilo Supeno, 1992).
sumber:
Assjari, Musjafak. (1995). Ortopedagogik Anak Tuna Daksa, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net